The Indonesian Institute Soroti Kesadaran Publik dan Sumber Daya dalam Pengawasan Pemilu 2024

Dwi Bowo Raharjo Suara.Com
Kamis, 19 Desember 2024 | 16:23 WIB
The Indonesian Institute Soroti Kesadaran Publik dan Sumber Daya dalam Pengawasan Pemilu 2024
Ilustrasi Pemilu 2024. (jateng.nu.or.id)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute (TII), Arfianto Purbolaksono, mengatakan bahwa tahun 2024 merupakan tahun politik bagi bangsa Indonesia. Pada tahun ini, Indonesia telah menyelenggarakan dua hajatan besar yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Pilkada (Pilkada).

Dalam kesempatan ini, Arfianto membagikan hasil kajian akhir tahun TII dengan tajuk INDONESIA 2024 yang berfungsi untuk mengevaluasi pelaksanaan pengawasan partisipatif pada tahun politik 2024.

Arfianto menjelaskan analisis kebijakan ini memakai teori evaluasi implementasi kebijakan yang melihat Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Perbawaslu) Nomor 2 tahun 2023 tentang Pengawasan Partisipatif.

Manajer Riset TII itu menyebutkan terdapat empat variabel untuk membahas temuan terkait penelitian ini yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap, dan struktur birokrasi.

Baca Juga: TII Sebut KPU Gagal Antisipasi Masalah pada Sirekap

1. Variabel Komunikasi

Pada variabel ini, Bawaslu telah mengeluarkan peraturan formal (Perbawaslu Nomor 2 tahun 2023) dan melakukan sosialisasi ke berbagai kelompok masyarakat.

Arfianto menjelaskan terdapat tantangan dalam memastikan keseragaman pemahaman di semua tingkat, terutama di daerah.

"Perbedaan pandangan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota mengenai pengawasan partisipatif menjadi tantangan yang signifikan," jelas Arfianto dalam acara berjudul "Memperkuat Pengawasan Partisipatif Pasca Tahun Politik 2024" yang dipantau Suara.com via zoom meeting, Kamis (19/12/2024).

"Partisipasi organisasi sipil sangat membantu memperluas komunikasi, meskipun kesadaran publik masih perlu ditingkatkan," sambungnya.

Baca Juga: Pengamat Ini Ingatkan Kecurangan Pemilu Tidak Hanya Terjadi di Pilpres Saja

2. Variabel Sumber Daya

Variabel ini menjelaskan keterbatasan anggaran dan tenaga kerja menjadi tantangan besar dalam pelaksanaan dan pengawasan partisipatif.

Arfianto menjelaskan bahwa organisasi masyarakat sipil juga mengalami kekurangan sumber daya manusia dan finansial yang berdampak pada efektivitas pengawasan.

Selain itu, menurutnya teknologi menjadi elemen penting untuk mengatasi sebagian keterbatasan akses ke daerah terpencil yang dianggap masih menjadi kendala.

3. Variabel Sikap

Variabel sikap kata dia, menyoroti komitmen kuat Bawaslu untuk melibatkan masyarakat dalam pengawasan partisipatif. Namun, temuan di lapangan terdapat sikap masyarakat yang cenderung 'money oriented' atau sekedar mencari pekerjaan.

"Ya, tentunya hal ini mempengaruhi kurangnya efektivitas partisipasi masyarakat," jelas Arfianto.

Arfianto mengatakan hal ini berbanding terbalik pada organisasi masyarakat sipil yang menunjukkan sikap proaktif dalam menjaga integritas pemilu.

"Ya, sikap menjaga integritas pemilu ini masih sering mendapat respon yang kurang dari penyelenggara pemilu," ungkapnya.

4. Variabel Struktur Birokrasi

Pada variabel terakhir ini, walaupun Bawaslu telah menetapkan peraturan yang jelas, tetap saja implementasi di tingkat daerah masih belum selaras.

"Masih belum selaras karena perbedaan pemahaman, keterampilan, dan ketersediaan anggaran," kata Arfianto.

Menurutnya, struktur birokrasi yang hirarkis dan lambat dapat menambah hambatan dalam menindaklanjuti laporan pelanggaran dari masyarakat.

"Dibutuhkan koordinasi antar-lembaga dan peningkatan responsivitas terhadap laporan masyarakat," jelas Arfianto.

"Karena itu, hal ini masih perlu diperlu diperbaiki untuk memastikan pengawasan berjalan lebih efisien dan efektif," pungkasnya. (Moh Reynaldi Risahondua).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI