Suara.com - Seorang hakim pada Senin (16/12) memutuskan bahwa vonis bersalah terhadap Donald Trump dalam kasus pemalsuan dokumen bisnis tetap berlaku. Permintaan Trump agar putusan tersebut dibatalkan, dengan dalih kekebalan presiden berdasarkan keputusan Mahkamah Agung AS, ditolak dalam keputusan tegas yang memperkuat validitas kasus tersebut.
Hakim Juan Merchan dalam putusan setebal 41 halaman menyatakan bahwa kasus ini berfokus pada tindakan pribadi Trump dan tidak ada hubungannya dengan fungsi resmi eksekutif sebagai presiden.
“Tindakan pemalsuan dokumen bisnis ini sama sekali tidak membahayakan otoritas atau fungsi cabang eksekutif,” tegas Merchan.
Kasus ini berawal dari pembayaran senilai $130.000 (sekitar Rp2 miliar) yang diberikan oleh pengacara pribadi Trump saat itu, Michael Cohen, kepada bintang film dewasa Stormy Daniels menjelang pemilu 2016. Pembayaran tersebut dimaksudkan untuk membeli keheningan Daniels terkait klaimnya mengenai hubungan seksual yang terjadi satu dekade sebelumnya dengan Trump, yang hingga kini dibantah oleh Trump.
Baca Juga: Donald Trump Desak Zelenskyy dan Putin untuk Segera Berdamai: Perang Ini Harus Berakhir!
Trump dinyatakan bersalah oleh juri Manhattan pada Mei lalu atas 34 tuduhan pemalsuan dokumen bisnis untuk menutupi pembayaran tersebut. Putusan ini mencatat sejarah sebagai pertama kalinya seorang mantan presiden Amerika Serikat dinyatakan bersalah atas tindak pidana.
Tim pengacara Trump berpendapat bahwa keputusan Mahkamah Agung baru-baru ini memberi kekebalan terhadap tuntutan hukum atas tindakan resmi seorang presiden. Mereka mengklaim bahwa bukti yang ditunjukkan selama persidangan, seperti posting media sosial Trump saat menjabat dan percakapan dengan staf Gedung Putih, melibatkan tindakan resmi presiden.
Namun, jaksa dari kantor Jaksa Distrik Manhattan Alvin Bragg menolak argumen tersebut. Mereka menegaskan bahwa kasus ini hanya melibatkan tindakan pribadi Trump dan bukan bagian dari kapasitas resminya sebagai presiden.
Putusan ini datang di tengah upaya Trump untuk kembali ke Gedung Putih pada Pemilu 2024. Trump, yang menolak semua tuduhan dan menyebutnya sebagai perburuan politik oleh lawan politiknya dari Partai Demokrat, menghadapi tekanan hukum yang signifikan.
Selain kasus ini, Trump memiliki beberapa kasus hukum lainnya, termasuk di negara bagian Georgia yang berkaitan dengan upaya membatalkan hasil Pemilu 2020.
Baca Juga: Drone Misterius Resahkan Warga AS, Donald Trump Beri Perintah Tembak
Meski beberapa kasus federal telah dihentikan berdasarkan kebijakan Departemen Kehakiman AS yang melindungi presiden dari tuntutan federal saat menjabat, kasus di pengadilan negara bagian seperti ini tetap menjadi ancaman nyata bagi Trump.
Dengan vonis yang tetap berlaku, sorotan kini tertuju pada langkah Trump berikutnya menjelang pelantikannya pada 20 Januari 2025, jika ia kembali terpilih. Sementara itu, pihak kejaksaan terus menekankan bahwa tidak ada individu, bahkan mantan presiden sekalipun, yang kebal terhadap hukum untuk tindakan pribadi yang melanggar undang-undang.