Suara.com - Kereta Rel Listrik (KRL) perlahan melaju meninggalkan Stasiun Pondok Ranji, Tangerang Selatan (Tangsel) menuju timur. Dua stasiun lagi, Aisyah yang tengah berbadan dua akan turun menuju tempat kerja.
Meski hanya menempuh jarak kurang dari 30 menit, ia harus berdesakan di dalam gerbong selama perjalanan. Tangannya memegang tiang penyangga, tubuhnya condong ke depan untuk menjaga keseimbangan.
Nyaris saban pagi, Aisyah harus merasakan kesulitan menjaga keseimbangan saat berdiri menahan guncangan kereta. Meski pin bertuliskan ibu hamil disematkan di dadanya, tak membuat penumpang sehat yang duduk di kursi prioritas beranjak.
Padahal ibu muda ini sudah masuk masa kehamilan trimester kedua.
Baca Juga: Tenang! KRL Jabotabek Beroperasi 24 Jam di Malam Tahun Baru
"Sempat hampir jatuh karena guncangan kereta yang kuat. Akhirnya ada mba-mba di belakang yang mungkin sadar, bantuin untuk nyolek penumpang lain," cerita Aisyah kepada Suara.com.
Selama masa kehamilan, bagi Aisyah, menggunakan KRL bak menjadi tantangan fisik sekaligus emosional. Terlebih, kehamilan ini menjadi kali pertama baginya. Sehingga dia masih perlu banyak lakukan adaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Perjalanan setiap hari dari rumah menuju tempat kerjanya sering kali menguji kesabaran.
Kejadian hampir terjatuh saat perjalanan dari Stasiun Pondok Ranji itu menyadarkannya untuk lebih berani meminta hak atas kursi prioritas di KRL demi menjaga kesehatannya juga sang bayi.
"Walaupun sudah pakai pin, kalau nggak speak up akan sulit dapat tempat duduk. Memang kesadaran masyarakat masih harus ditingkatin lagi," tuturnya.
Baca Juga: Viral! Aksi Heroik Petugas KRL Ringkus Pencuri Tas di Stasiun Pondok Cina
Pengalaman serupa juga dialami Fitra, pengguna KRL lainnya. Pada masa awal kehamilannya, saat belum terlihat ada perubahan fisik, ia merasa sulit mendapatkan tempat duduk.
"Agak susah waktu awal, terutama 1-4 bulan belum keliatan. Jadi kasihan sih kalau yang nggak kelihatan ini, sama orang suka nggak dikasih tempat duduk kalau nggak inisiatif buat minta," ujarnya.
Fitra yang setiap hari naik KRL rute Bogor-Jakarta Kota pulang pergi, mengaku sering memutar rute kretanya demi bisa dapat tempat duduk.
Dia rela naik KRL ke arah Jakarta Kota dari stasiun Gondangdia ketika pulang kerja, padahal bisa naik KRL yang rutenya langsung ke arah Bogor.
"Kalau pulang ke Jakarta Kota, dulu baru ke arah Bogor karena takut nggak dapat tempat duduk," kata Fitra.
Pentingnya Kesadaran
Baik Aisyah maupun Fitra sepakat bahwa staf keamanan di stasiun maupun dalam kereta sangat membantu dalam menjaga hak-hak penumpang prioritas. Namun, kesadaran masyarakat masih perlu ditingkatkan.
Aisyah membandingkan dengan karakter penumpang di MRT yang menurutnya lebih sadar akan hak kursi prioritas.
"Kalau di MRT kesadaran masyarakat lebih tinggi, kursi prioritas itu jarang banget diisi walaupun lagi penuh. Kalau pun diisi masih ada ruang yang kosong," ungkap Aisyah.
Pengalaman-pengalaman itu menunjukkan bahwa meski sudah ada kursi prioritas dan pin khusus bumil, masih banyak yang harus diperbaiki, terutama dari sisi kesadaran penumpang.
"Seenggaknya masyarakat lebih peka juga, lah. Nggak perlu sampai bumilnya yang sampai harus speak up," harap Aisyah.
Perjuangan bumil di KRL bukan hanya soal meminta hak atas kursi prioritas, tetapi juga soal membangun kesadaran bersama.
Karena sejatinya, kepedulian kita kepada penumpang prioritas mencerminkan kualitas budaya masyarakat yang lebih manusiawi.