Suara.com - Gereja Inggris kembali mendapat sorotan tajam setelah laporan investigasi BBC mengungkap serangkaian keputusan buruk terkait perlindungan anak dan individu rentan di masa lalu. Laporan tersebut menunjukkan adanya katalog keputusan perlindungan yang buruk, di mana seseorang yang dianggap berisiko pada 1980-an justru diizinkan kembali menjalankan tugas pastoral pada 1990-an.
“Hal ini seharusnya tidak pernah terjadi,” demikian pernyataan resmi dari Gereja Inggris yang merespons laporan tersebut.
Sementara itu, Uskup Birkenhead Julie Conalty, yang juga menjabat sebagai wakil pemimpin perlindungan Gereja Inggris, mengkritik sistem akuntabilitas yang berlaku saat ini. Menurutnya, struktur organisasi gereja dan disiplin bagi para pendeta sudah tidak lagi relevan dengan zaman.
“Sistem kami tidak berjalan seperti organisasi lain. Cara kami menunjuk pendeta sebagai pemegang jabatan, bukan karyawan, serta aturan disiplin yang ada saat ini, sudah tidak layak,” ungkapnya dalam wawancara dengan Sky News.
Baca Juga: Suriah Pasca-Assad: Negara Asing Berlomba Jalin Hubungan dengan Penguasa Baru
Ia menambahkan, “Ini mungkin bahkan sudah tidak layak sejak akhir abad ke-20, apalagi untuk abad ke-21.”
Di tengah kritik ini, posisi Uskup Agung York, Stephen Cottrell, juga mendapat tekanan kuat. Cottrell menghadapi seruan untuk mundur setelah laporan BBC mengungkap bahwa ia membiarkan David Tudor—seorang pendeta yang telah dilarang berinteraksi dengan anak-anak—tetap berada di jabatannya ketika menjabat sebagai Uskup Chelmsford.
David Tudor sendiri akhirnya dijatuhi larangan permanen dari tugas pastoral pada 2024 setelah mengakui kasus pelecehan serius terhadap dua gadis remaja berusia 15 dan 16 tahun.
Cottrell pun membela tindakannya. Dalam sebuah pernyataan, ia mengatakan telah “bertindak secepat mungkin” dengan otoritas yang dimilikinya.
“Ketika saya menjabat sebagai Uskup Chelmsford pada 2010, saya langsung bekerja sama dengan tim perlindungan untuk memastikan risiko terhadap anak-anak dikelola dengan baik,” ujarnya.
Baca Juga: Derby Manchester: Ruben Amorim Akui City di atas United, tapi...
Cottrell menjelaskan bahwa tidak ada dasar hukum untuk mencopot David Tudor hingga munculnya laporan baru dari korban pada 2019. “Begitu laporan baru muncul, saya langsung menangguhkan David Tudor dari tugas pastoral,” tegasnya.
Sementara itu, Uskup Agung Canterbury, Justin Welby, sebelumnya telah mengumumkan pengunduran dirinya yang efektif mulai 6 Januari mendatang. Keputusannya muncul setelah tekanan yang meningkat terkait penanganan kasus pelecehan oleh John Smyth, seorang pelaku pelecehan berantai yang meninggal pada 2018.
Laporan Makin Review menyatakan bahwa Smyth seharusnya bisa diproses hukum jika saja Welby melaporkan kasus tersebut ke polisi pada 2013. Sebaliknya, penanganan yang dianggap lalai itu justru memungkinkan Smyth lolos dari jeratan hukum.
Reverend Martine Oborne, Ketua Women and the Church (WATCH), mendesak para pemimpin gereja untuk lebih transparan dan akuntabel.
“Orang-orang berhak mengetahui bahwa gereja adalah tempat yang aman. Ada kegagalan serius yang harus segera diperbaiki,” tegasnya.
Gereja Inggris kini dihadapkan pada tuntutan reformasi menyeluruh, khususnya dalam sistem perlindungan dan disiplin internalnya. Kepercayaan publik yang terkikis menuntut langkah konkret agar gereja tidak hanya sekadar meminta maaf, tetapi juga memastikan kesalahan serupa tidak terulang di masa depan.