Suara.com - Politisi Gerindra, Sugiat Santoso menyarankan pemberian amnesti, abolisi dan grasi dari Presiden Prabowo Subianto kepada 44 ribu narapidana (napi) tidak bersifat umum. Menurutnya, pemerintah harus fokus pada tahanan dan napi politik.
Tahanan politik tersebut terkait separatisme Papua, penghinaan kepala negara, kasus kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah di masa lalu, dan menyangkut ujaran kebencian di media sosial (UU ITE).
"Fokus itu akan selaras dengan cita-cita Presiden Prabowo untuk menegakkan Hak-hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Indonesia serta di dunia internasional, yang tertuang dalam Asta Cita," ujar Sugiat kepada wartawan, Selasa (17/11/2024).
Ia mengakui, memang rencana pemberian amnesti yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Hukum sangat penting.
Namun, perlu ada penekanan kriteria dan parameter sebagai pertimbangan atas kepentingan politik nasional.
Seharusnya, kasus narkoba tak menjadi prioritas pemberian pengampunan. Hal ini bisa menjadi bukti Prabowo memiliki kepedulian pada penegakan HAM.
"Jangan sampai kebijakan grasi massal ini hanya menyasar pelaku pidana umum, pecandu narkoba, sementara tahanan politik tidak disentuh," jelasnya.
"Prioritas pemberian grasi massal ke tahanan politik adalah bukti Presiden Prabowo sebagai seorang pemimpin peduli penegakan HAM di kancah internasional," lanjutnya.
Ia juga menyinggung beberapa kasus tahanan politik yang masih menggantung dan belum SP3, seperti kepada tokoh politik nasional. Antara lain, Mayjen (purn) Kivlan Zein, Almarhumah Rachmawati Soekarnoputri, Hatta Taliwang dan Jumhur Hidayat perlu segera didalami.
Baca Juga: Pemerintah Siap Ajukan Amnesti 44 Ribu Narapidana ke DPR Awal Tahun 2025
"Begitu juga pada kasus-kasus lainnya, termasuk pada isu separatisme Papua," pungkasnya.