Suara.com - Suriah mungkin secara resmi tetap sebagai negara kesatuan, tetapi dalam praktiknya, negara itu akan segera terbagi menjadi beberapa zona yang dikuasai oleh kekuatan asing.
Kondisi ini muncul akibat adanya kekosongan kekuasaan setelah penggulingan Presiden Bashar Assad, ungkap Sekretaris Jenderal Gerakan Diplomasi Populer Suriah, Mahmoud Afandi, yang terlibat dalam perundingan damai di Astana dan Jenewa, kepada RIA Novosti.
"Keberangkatan Bashar Assad dan pemerintahannya telah menciptakan kekosongan politik yang signifikan. Banyak negara berusaha untuk memasuki Suriah," kata Afandi.
"Ini menunjukkan bahwa Suriah sebagai negara kesatuan tidak akan bertahan, melainkan akan ada zona pengaruh dan pemerintahan yang berbeda. Menurut pendapat saya, meskipun secara fisik Suriah masih ada, namun keadaannya sudah tidak sama," kata Afandi.
Baca Juga: Israel Siap Bangun Permukiman Baru di Golan, Suriah Berang!
Ia memperkirakan negara tersebut akan terpisah menjadi beberapa wilayah yang dikendalikan oleh Turki di barat laut, Israel di selatan, serta Irak dan Yordania di timur.
"Masa depan tidak pasti, tetapi negara ini seperti yang kita kenal tidak ada lagi. Kita bisa melupakan kedaulatan Suriah selama 20 tahun ke depan," ujar Afandi.
"Kita lihat saja perkembangan selanjutnya. Baru-baru ini, tentara Turki sebagian telah memasuki kota Aleppo, yang menunjukkan bahwa mereka tidak akan meninggalkan daerah tersebut," tambahnya.
Selama kepemimpinan Assad, Gerakan Diplomasi Populer tidak memiliki perwakilan di parlemen, namun terlibat dalam pembicaraan damai di Astana dan Jenewa.
Pasukan bersenjata oposisi Suriah berhasil merebut ibu kota Damaskus pada tanggal 8 Desember.
Baca Juga: Suriah Pasca-Assad: Negara Asing Berlomba Jalin Hubungan dengan Penguasa Baru
Pejabat Rusia mengumumkan bahwa Assad, yang telah memimpin selama 14 tahun, mengundurkan diri dari jabatannya dan meninggalkan Suriah untuk menuju Rusia, di mana ia mendapatkan suaka.
Mohammed al-Bashir, yang sebelumnya memimpin pemerintahan di Idlib yang dibentuk oleh kelompok Hay'at Tahrir al-Sham (HTS) dan kelompok oposisi lain, ditunjuk sebagai perdana menteri sementara.
Ia menyatakan bahwa pemerintah sementara telah dibentuk dan akan berkuasa hingga Maret 2025.