Suara.com - Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol kembali menghadapi ujian besar dalam kepemimpinannya dengan pemungutan suara pemakzulan kedua yang dijadwalkan pada Sabtu sore (16/12). Langkah kontroversialnya untuk menerapkan hukum militer pada 3 Desember lalu, meskipun dicabut hanya enam jam kemudian, telah memicu krisis konstitusional, memecah partainya, dan mengancam stabilitas pemerintahannya yang baru berjalan setengah periode.
Upaya Yoon untuk memberlakukan hukum militer memicu kecaman luas, baik dari oposisi maupun publik. Langkah itu dianggap sebagai pelanggaran hukum serius yang mengguncang kepercayaan terhadap sistem demokrasi Korea Selatan.
Dalam pernyataannya pada Kamis (14/12), Yoon membela keputusan tersebut, menyebutnya sebagai langkah darurat untuk mengatasi kebuntuan politik dan melindungi negara dari ancaman yang ia klaim berasal dari politisi domestik anti-negara.
Namun, langkah ini dinilai oleh banyak pihak sebagai upaya inkonstitusional. Parlemen menolak dekrit tersebut, sementara demonstrasi besar-besaran direncanakan menjelang pemungutan suara pemakzulan pada Sabtu.
Partai oposisi yang menguasai 192 dari 300 kursi di parlemen memimpin upaya pemakzulan ini. Mereka membutuhkan sedikitnya delapan suara tambahan dari anggota Partai Kekuasaan Rakyat (PPP) untuk mencapai ambang batas dua pertiga yang diperlukan.
Baca Juga: Darurat Militer Korea Selatan: Presiden Yoon Bersumpah Berjuang Hingga Akhir, Minta Maaf ke Rakyat
Sementara itu, Han Dong-hoon, pemimpin PPP, telah menyerukan anggotanya untuk mendukung pemakzulan demi menstabilkan ekonomi dan diplomasi negara dengan cepat. Beberapa anggota PPP, termasuk Ahn Cheol-soo, secara terbuka menyatakan akan memilih untuk memakzulkan Yoon.
Di sisi lain, kepemimpinan PPP masih bersikeras menolak pemakzulan. Pertemuan internal partai dijadwalkan Sabtu pagi untuk menentukan sikap resmi mereka sebelum pemungutan suara berlangsung.
Jika pemakzulan disetujui, Presiden Yoon akan kehilangan sebagian besar otoritasnya, tetapi tetap menjabat sampai Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mencabut atau mengembalikan jabatannya. Selama proses ini, Perdana Menteri Han Duck-soo akan mengambil alih sebagai presiden sementara.
Jika Mahkamah Konstitusi mencopot Yoon dari jabatannya atau jika ia memilih untuk mundur, Korea Selatan harus mengadakan pemilihan presiden baru dalam waktu 60 hari.
Selain itu, Yoon juga menghadapi penyelidikan kriminal atas dugaan tindakan makar terkait deklarasi hukum militer. Ia dilarang bepergian ke luar negeri dan terus menghadapi tekanan untuk mundur, meskipun ia bersumpah akan berjuang hingga akhir.
Baca Juga: Pemakzulan Presiden Korsel: Pendukung Sebut Pemilu Dicurangi, Oposisi Pro-Korut
Krisis politik ini telah mengguncang pasar keuangan dan mencoreng citra Korea Selatan sebagai salah satu negara demokrasi paling stabil di Asia. Namun, pasar saham menunjukkan pemulihan dengan harapan bahwa ketidakpastian politik akan mereda setelah pemungutan suara akhir pekan ini.
Survei Gallup Korea terbaru menunjukkan dukungan publik yang luas terhadap pemakzulan, dengan tiga perempat responden mendukung langkah tersebut. Meskipun demikian, dua pertiga pendukung partai Yoon masih menentang pemakzulan, mencerminkan perpecahan tajam di antara masyarakat.
Dikenal karena retorikanya yang mendukung demokrasi global, Yoon awalnya disambut hangat oleh negara-negara Barat setelah terpilih pada 2022. Namun, masalah dalam negeri, termasuk pendekatannya yang dianggap otoriter terhadap oposisi politik dan media, telah memperlemah dukungannya di dalam negeri.
Hasil pemungutan suara Sabtu ini akan menjadi momen penentu bagi kepemimpinan Yoon, sekaligus menguji kekuatan institusi demokrasi Korea Selatan di tengah tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya.