Sebut Polisi Gagal Jadi Pelindung Masyarakat, Mahasiswi UGM Minta Perombakan Pimpinan Polri

Selasa, 10 Desember 2024 | 22:04 WIB
Sebut Polisi Gagal Jadi Pelindung Masyarakat, Mahasiswi UGM Minta Perombakan Pimpinan Polri
Personel kepolisian berupaya membubarkan mahasiswa yang menerobos pagar saat berunjuk rasa menolak pengesahan Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (22/8/2024). (ANTARA FOTO/Galih Pradipta).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aksi pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepolisian Indonesia terus berulang. Aksi kekerasan yang dilakukan secara berulang oleh pihak kepolisian seakan dianggap sesuatu yang wajar.

Mahasiswi Fakultas Hukum UGM, Ursula Lara, menilai aksi represif yang terus berulang dilakukan oleh pihak kepolisian seakan membuat Indonesia dalam kondisi darurat kekerasan polisi.

“Berulang kali kekerasan polisi terjadi dan menelan korban dalam luar biasa. Rendahnya transparansi hingga tidak ada penghukuman yang tegas untuk pelaku serta pemimpin komando dan petinggi-petinggi di kepolisian menjadi penyebab utama berulangnya kekerasan aparat ini,” kata Ursula dalam video yang diterima Suara.com, Selasa (10/12/2024).

Kekerasan aparat, kata Ursula, harus dilihat dalam konteks yang lebih besar yaitu sebagai kebijakan yang diambil oleh petinggi Polri bukan hanya merupakan kejadian terbatas yang dilakukan oleh aparat di lapangan.

Baca Juga: Amnesty International Ungkap Ratusan Kekerasan Aparat Saat Demo Kawal Putusan MK, Total 579 Warga Sipil Jadi Korban

Saat ini kata dia, reformasi menyeluruh harus dilakukan di tubuh Polri tidak hanya terbatas pada implementasi SOP penanganan aksi damai.

Ursula kemudian menilai hal yang lebih membahayak yakni cara pandang segala bentuk tuntutan masyarakat dianggap sebagai ancaman, sehingga responnya selalu berujung pada aksi kekerasan oleh aparat.

Bahkan dalam banyak situasi, kekerasan terjadi hanya karena ketersinggungan aparat kepolisian hingga kekhawatiran yang tak beralasan.

“Polisi kini menjadi institusi yang gagal menjadi pelindung apalagi pelayan masyarakat. Kegagalannya bisa disebabkan oleh kepemimpinan hingga budaya institusi,” katanya.

Saat ini kata Ursula, penting untuk melakukan evaluasi atas kinerja kepolisian dengan meletakkan alat ukur HAM sebagai parameternya. Melalui alat ukur HAM itulah kepolisian tidak lagi bisa bertindak sewenang-wenang, tidak mudah digunakan oleh kekuasaan untuk kepentingan politik sesaat hingga terhindar dari penyalahgunaan wewenang yang dimiliki.

Baca Juga: Amnesty International Catat Ada 116 Kasus Kekerasan yang Dilakukan Aparat Kepolisian Sepanjang 2024

“Tak ada cara lain selain menuntut keterbukaan juga keterlibatan masyarakat dalam penentuan kepala Kepolisian,” jelasnya.

Polisi seharusnya, kata Ursula, belajar dari sejarah bahwa kemandirian yang diraihnya hari ini ialah perjuangan luar biasa dari semua gerakan masyarakat sipil di era 98.

Selain itu Polri juga diminta sadar diri bahwa posisi yang diraihnya hari ini bukan karena perjuangan institusinya.

“Maka wajib bagi polisi membayar ‘hutang sejarah’ itu dengan menghidupkan lagi kultur HAM dalam penggunaan wewenangnya dan memberikan pintu seluas-luasnya masyarakat untuk mengontrol kinerjanya,” ucap Ursula.

Dalam peringatan Hari HAM kali ini, ada 6 hal yang disampaikan Ursula, untuk mengubah citra Polri, di antaranya:

  1. Perombakan kepemimpinan termasuk di pucuk pimpinan tertinggi yaitu Kapolri yang musti dilakukan secepatnya mengingat kinerja kepemimpinan selama ini menjauh dari ciri polisi negara demokrasi dan hak asasi;
  2. Hentikan kebijakan penggunaan kekerasan dalam meresponaksi-aksi damai;
  3. Memberi ruang bagi publik untuk menilai kinerja polisi dengan membuka partisipasi masyarakat untuk memilih pimpinan kepolisian di level pusat hingga daerah;
  4. Memastikan aparat kepolisian di semua level untuk memahami, mengerti bahkan mampu untuk bertindak sesuai dengan prinsip prinsip HAM;
  5. Memberikan hukuman keras pada aparat Kepolisian yang terbukti melakukan kekerasan dengan menjatuhkan sanksi pidana bukan sanksi etik;
  6. Membatasi dan mengontrol wewenang dan anggaran kepolisian yang selama ini tidak dikaitkan dengan kinerja polisi dalam penghormatan pada HAM.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI