Suara.com - Ambesty International merilis soal aksi kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terutama dalam mengawal jalannya aksi demontrasi.
Merujuk aksi demontrasi yang dilakukan masyarakat pada 22-29 Agustus 2024 lalu, Amnesty International Indonesia menemukan 579 warga sipil yang mengalami aksi represif aparat. Di antaranya yakni penangkapan dan kekerasan fisik.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid mengatakan, aksi kekerasan aparat terhadap masyarakat yang melakukan protes selalu berulang.
Menurutnya, ada empat hal yang menyebabkan kekerasan aparat terus terjadi. Di antaranya tidak pernah ada pertanggungjawaban atas kasus pelanggaran HAM akibat kekerasan aparat.
“Paling tidak ada empat yang bisa kita garisbawahi. Pertama karena selama ini tidak pernah ada pertanggungjawaban atas kasus-kasus pelanggaran HAM akibat kekerasan polisi, sehingga tidak ada efek jera,” kata Usman, dalam Youtube Amnesty International, Senin (9/12/2024).
Kemudian, faktor para aparat selalu menggunakan kekerasan dalam penanganan aksi demontrasi yakni lantaran aparat kepolisian selalu menganggap aksi kritik masyarakat sebagai ancaman keamanan.
“Kedua kuatnya persepsi di kalangan aparat, bahwa aksi-aksi mengkritik pemerintah adalah ancaman kemanan,” katanya.
Pemerintah, kata Usman, saat ini juga masih minim dalam komitmen dalam melindungi hak warga, termasuk untuk berekspresi dan berkumpul secara damai.
“Ketiga, minimnya komitmen negara untuk melindungi hak warga, termasuk berekspresi dan berkumpul secara damai,” ujar Usman.
Selanjutnya, Usman menilai jika pihak kepolisian tidak pernah melakukan evaluasi menyeluruh, terlebih di level komando, mengenai pendekatan polisi dalam merespons aksi protes.