Suara.com - Praktik pungutan liar (pungli) di sekolah kembali jadi sorotan setelah viralnya dugaan pungli terjadi di SMAN 2 Cibitung. Pengamat pendidikan mengingatkan orangtua murid untuk memahami perbedaan pungli dengan sumbangan sukarela yang bisa jadi diminta pihak sekolah.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menegaskan bahwa semua biaya di sekolah negeri seharusnya sudah ditanggung oleh pemerintah karena sesuai amanat wajib sekolah 12 tahun.
“Kalau masih ada tarikan, seperti uang wisuda, ekstrakurikuler, buku, ujian semester, atau studi tour, itu sudah termasuk pungli," kata Ubaid kepada Suara.com saat dihubungi Jumat (6/12/2024).
Dia menambahkan bahwa besaran dana untuk sekolah negeri sudah dihitung pemerintah agar mencukupi kebutuhan operasional.
Baca Juga: Orang Tua Pasrah? Pungli Sekolah Jadi 'Wajar', Pengamat: Tergantung Nominal
Namun, praktik pungli tetap merajalela bahkan telah dianggap wajar dan dibiarkan tanpa sanksi tegas. Hal tersebut berdampak pada normalisasi pungutan-pungutan yang sebenarnya ilegal.
"Semua kebutuhan sekolah sudah dibiayai pemerintah, harusnya ya sudah cukup. Besaran dana untuk sekolah negeri juga sudah dihitung ya cukup sebenarnya," ujarnya.
Sementara itu, pengamat pendidikan Doni Koesoema tidak menampik adanya permintaan sumbangan sukarela dari sekolah kepada orangtua siswa. Menurutnya, sumbangan sukarela itu berbeda dengan pungli dan bisa jadi juga tidak melanggar aturan.
Namun, Doni juga menjelaskan bahwa sumbangan sukarela tidak boleh disertai embel-embel administrasi, seperti mencatat jumlah yang diberikan atau bahkan memaksa orang tua murid untuk memberikan bantuan dengan aturan batas minimal nominal.
"Kalau sumbangan ada catatan dari sekolah, orangtua diminta mengisi nominal, atau ada konsekuensi dari jumlah yang diberikan, itu sudah disebut pungutan liar dan jelas dilarang," ungkap Doni.
Baca Juga: Jamak Dugaan Praktik Pungli di Sekolah Berkedok Sumbangan Sukarela
Menurutnya, sumbangan harus benar-benar diberikan secara sukarela tanpa paksaan atau tekanan dalam bentuk apa pun.
Kedua pengamat ini sepakat bahwa orangtua siswa perlu lebih kritis terhadap praktik di sekolah yang melibatkan pengumpulan uang, terutama di sekolah negeri.
"Penyebab pungli ada macam-macam. Niat jahat pengelola sekolah untuk menarik keuntungan dari orang tua dengan berbagai macam alasan. Juga untuk SMA, sumbangan dimungkinkan untuk kegiatan ekstrakurikuler, bukan untuk pembangunan. Mengapa? Kadang dana BOS tak mencukupi untuk kegiatan ekstrakurikuler," tutur Doni.