Ia juga menyoroti kebingungan pemilih akibat ketidaksamaan koalisi partai politik di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
"Ketidakkonsistenan ini membuat pemilih kehilangan arah," tambahnya.
Selain itu, Faishal mengkritik pendekatan sosialisasi pilkada yang dianggap kurang efektif.
"Penyelenggara hanya pasang baliho di sana-sini, tapi tidak banyak menyentuh platform digital yang lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari pemilih,” ujarnya.
Frekuensi Pemilu Tinggi
Ia kemudian mencontohkan fenomena serupa di negara lain, seperti Israel dan Bulgaria, yang mengalami penurunan partisipasi akibat frekuensi pemilu yang terlalu tinggi.
"Seperti di Israel ketika terjadi krisis politik yang mana pada 2019 digelar dua kali pemilu, kemudian pada 2020 dan 2021 masing-masing sekali, dan dua kali pemilu pada 2022. Juga di Bulgaria yang mana pada 2021 digelar tiga kali pemilu, pada 2022 dan 2023 masing-masing sekali, dan dua kali pemilu pada 2024," ujarnya.
Namun, ia juga menyarankan adopsi teknologi seperti e-voting untuk mengatasi kendala teknis seperti antrean panjang di TPS.
"Kendala teknis itu sudah banyak diatasi dengan e-voting (pemungutan suara elektronik), yang mana pemilih bisa memberikan hak suaranya dari mana saja, dan bisa di sela-sela istirahat kerja,” katanya.
Baca Juga: Partisipasi di Pilkada Bali Tak Mencapai Target, KPU : Tidak Bermaksud Menyalahkan Semesta
Sebelumnya diberitakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakui bahwa partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 menurun dibanding pada saat Pilpres dan Pileg 2024 lalu.