Dari Israel Hingga Bulgaria, Belajar dari Negara Lain Atasi Rendahnya Partisipasi Pemilu

Chandra Iswinarno Suara.Com
Kamis, 05 Desember 2024 | 12:37 WIB
Dari Israel Hingga Bulgaria, Belajar dari Negara Lain Atasi Rendahnya Partisipasi Pemilu
Warga menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta di TPS 046 Cilandak, Jakarta, Rabu (27/11/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Turunnya partisipasi publik dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada serentak 2024 menjadi sorotan berbagai pihak. Bahkan akademisi menilai ada persoalan yang muncul saat gelaran pilkada serentak tersebut dilakukan dalam tahun yang sama dengan Pemilu.

Akademisi dari Universitas Bangka Belitung, Ibrahim mengemukakan bahwa penyelenggaraan pemilu dan pilkada dalam waktu yang berdekatan menciptakan kejenuhan politik di kalangan masyarakat.

"Barangkali pileg dan pilpres bisa digabung, tetapi pilkada perlu diatur minimal berjarak dua tahun,” ujarnya mengutip Antara.

Ia mengemukakan bahwa jadwal pemilu yang terlalu padat tak hanya membebani penyelenggara, tetapi juga mengurangi antusiasme masyarakat untuk datang ke TPS.

Baca Juga: Partisipasi di Pilkada Bali Tak Mencapai Target, KPU : Tidak Bermaksud Menyalahkan Semesta

Ibrahim kemudian mengaitkan rendahnya partisipasi warga tersebut dengan kurangnya pemahaman warga mengenai pentingnya pilkada sebagai elemen tata kelola pemerintahan.

"Erosi minat politik ini menunjukkan ada yang salah dalam sistem pemahaman warga suatu bangsa," katanya.

Lantaran itu, ia mengusulkan agar dilakukan inovasi dalam mempromosikan pilkada.

"Daripada konser dengan biaya ratusan juta, mengapa tidak menyediakan undian berhadiah di TPS? Atau membuat tampilan TPS lebih atraktif,” ungkapnya.

Sementara dari perspektif yang berbeda, Akademisi Universitas Brawijaya (UB) Malang, Muhammad Faishal Aminuddin menyoroti kelelahan partai politik sebagai salah satu penyebab menurunnya partisipasi pemilih.

Baca Juga: Kelelahan Politik dan Calon Milik Elite, Biang Keladi Rendahnya Partisipasi Pilkada Jakarta

"Yang capek sebenarnya partai dan kandidatnya. Mereka harus mengusung berbagai calon dalam waktu yang berdekatan, sementara suplai logistik sudah habis di Pemilu 2024," jelasnya mengutip Antara.

Ia juga menyoroti kebingungan pemilih akibat ketidaksamaan koalisi partai politik di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

"Ketidakkonsistenan ini membuat pemilih kehilangan arah," tambahnya.

Selain itu, Faishal mengkritik pendekatan sosialisasi pilkada yang dianggap kurang efektif.

"Penyelenggara hanya pasang baliho di sana-sini, tapi tidak banyak menyentuh platform digital yang lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari pemilih,” ujarnya.

Frekuensi Pemilu Tinggi

Ia kemudian mencontohkan fenomena serupa di negara lain, seperti Israel dan Bulgaria, yang mengalami penurunan partisipasi akibat frekuensi pemilu yang terlalu tinggi.

"Seperti di Israel ketika terjadi krisis politik yang mana pada 2019 digelar dua kali pemilu, kemudian pada 2020 dan 2021 masing-masing sekali, dan dua kali pemilu pada 2022. Juga di Bulgaria yang mana pada 2021 digelar tiga kali pemilu, pada 2022 dan 2023 masing-masing sekali, dan dua kali pemilu pada 2024," ujarnya.

Namun, ia juga menyarankan adopsi teknologi seperti e-voting untuk mengatasi kendala teknis seperti antrean panjang di TPS.

"Kendala teknis itu sudah banyak diatasi dengan e-voting (pemungutan suara elektronik), yang mana pemilih bisa memberikan hak suaranya dari mana saja, dan bisa di sela-sela istirahat kerja,” katanya.

Sebelumnya diberitakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakui bahwa partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 menurun dibanding pada saat Pilpres dan Pileg 2024 lalu.

Anggota KPU RI, August Mellaz, mengatakan akan melakukan evaluasi terhadap penurunan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024.

Apalagi, dia memerkirakan bahwa tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 masih di bawah 70 persen.

“Kalau kita lihat sekilas ya, dari gambaran secara umum, ya kurang lebih di bawah 70 persen. Secara nasional rata-rata,” kata August di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

“Meskipun rata-rata nasional biasanya kalau dalam konteks pilkada dibandingkan pilpres, pileg atau pemilu nasional itu biasanya di bawah,” katanya.

Meski begitu, August mengakui bahwa saat ini pihaknya sedang fokus dengan pelaksanaan rekapitulasi berjenjang yang saat ini dilakukan di tingkat kecamatan dan akan dilanjutkan ke tingkat provinsi.

Nantinya, August menyebut kemungkinan-kemungkinan yang menjadi alasan menurunnya tingkat partisipasi pemilih akan dibahas dalam evaluasi.

“Secara prinsip gini, kalau di pemilu nasional lalu kan 800 ribuan TPS, 800 ribu lebih dengan jumlah maksimal pemilunya 300 orang,” ujar August.

“Nah, kalau sekarang di pilkada kan memang 600 orang jika ada pemadatan, setengah dari jumlah yang ada,” katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI