Suara.com - Akses pendidikan agama Islam bagi disabilitas, khususnya penyandang tuli, dinilai masih sangat minim. Padahal, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim semestinya memberikan perhatian lebih terhadap kebutuhan itu.
Direktur Perhimpunan Pengembangan Masyarakat (P3M) KH Sarmidi Husna menyampaikan, salah satu solusi yang bisa dilakukan dengan pengembangan bahasa isyarat hijaiyyah untuk mempermudah pembelajaran Al-Qur'an dan agama bagi penyandang disabilitas tuli.
“Negara kita kan mayoritas muslim, jika jumlah disabilitas tuli itu 2,5 juta orang, maka lebih dari 2 juta orang disabilitas tuli adalah muslim. Tentu mereka perlu belajar agama, seperti belajar Al Quran, al-Hadis dan lain-lain. Akan tetapi akses mereka belajar agama memerlukan juru bahasa isyarat," kata KH Sarmidi dalam Halaqah Nasional dan Peringatan Hari Disabilitas Internasional di Universitas Negeri Jakarta, (2/12/2024)
Dia mengungkapkan bahwa juru bahasa isyarat untuk mengajar agama Islam juga masih minim. Lebih minim lagi ialah juru bahasa isyarat hijaiyah.
"Karena itu, masalah ini perlu dapat perhatian khusus," imbuhnya.
Dia menyatakan bahwa ada tiga hal yang harus dilakukan dalam rangka membangun masyarakat yang ramah disabilitas. Pertama, dengan membangun pola pikir bahwa anak disabilitas bukan aib. Sehingga orang tua maupun lingkungan tidak perlu malu dengan keberadaan anak disabilitas.
Kedua, perlu peran aktif dari negara untuk mendukung pemberdayaan kelompok disabilitas. Menurut KH Sarmidi, pasca ada UU Nomor 8 tahun 2016, negara belum optimal melakukan pelayanan atau memberikan fasilitasi kepada penyandang disabilitas.
“Misalnya soal kantor atau gedung yang ramah disabilitas masih minim. Fasilitas publik juga fasilitas keagamaan juga tidak ramah,” tambahnya.
Ketiga, terkait dengan pelayanan. Baik itu masalah kesehatan, pelayanan ekonomi dan lain lain. Namun yang lebih perlu perhatian yakni mengenai pelayanan pendidikan. KH Sarmidi menyoroti kalau Indonesia masih sangat kekurangan guru. Terlebih guru khusus anak-anak disabilitas.
"Dalam data, kita itu masih defisit guru pendamping khusus. Guru pendamping khusus kalau diprosentasikan hanya 15 persen dari anak siswa penyandang disabilitas,” ujarnya.