Suara.com - Israel mengeluarkan ancaman keras pada Selasa (3/12) untuk melanjutkan perang di Lebanon jika gencatan senjata dengan Hizbullah gagal. Kali ini, Israel menegaskan serangan akan menjangkau lebih dalam dan menargetkan negara Lebanon secara langsung, bukan hanya Hizbullah. Ancaman ini muncul setelah hari paling mematikan sejak gencatan senjata disepakati pekan lalu.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menyatakan bahwa Lebanon akan bertanggung jawab jika gagal melucuti senjata militan yang melanggar kesepakatan.
"Jika kami kembali berperang, kami akan bertindak tegas, lebih dalam, dan yang terpenting: tidak ada lagi pengecualian untuk negara Lebanon," tegas Katz saat berkunjung ke perbatasan utara Israel.
Pernyataan ini menandai peringatan paling kuat sejak gencatan senjata selama 14 bulan dengan Hizbullah diumumkan.
Baca Juga: Prancis, Inggris dan Jerman ke Israel: Patuhi Kewajiban Internasional Segera!
“Jika sebelumnya kami memisahkan Lebanon dari Hizbullah... sekarang tidak akan lagi seperti itu," katanya lagi.
Meski gencatan senjata mulai berlaku pada 27 November lalu, ketegangan tetap tinggi. Pasukan Israel terus melancarkan serangan di Lebanon selatan dengan dalih menindak pejuang Hizbullah yang mengabaikan perjanjian untuk mundur di luar Sungai Litani, sekitar 30 kilometer dari perbatasan.
Pada Senin, Hizbullah menyerang pos militer Israel, sementara pihak berwenang Lebanon melaporkan setidaknya 12 korban tewas akibat serangan udara Israel.
Serangan Hizbullah disebut Katz sebagai "ujian pertama," yang kemudian dibalas dengan serangan kuat dari Israel. Ia mendesak pemerintah Lebanon untuk memberikan wewenang kepada tentara nasional agar menegakkan perjanjian dengan menyingkirkan Hizbullah dari wilayah selatan.
“Jika mereka tidak melakukannya dan perjanjian ini runtuh, maka situasinya akan sangat jelas,” tambahnya.
Baca Juga: Hamas dan Fatah Sepakat Bentuk Komite Bersama untuk Mengelola Gaza Pasca-Perang
Sementara itu, Lebanon meminta bantuan dari komunitas internasional untuk menekan Israel agar mematuhi gencatan senjata. Perdana Menteri Lebanon, Najib Mikati, dan Ketua Parlemen Nabih Berri mendesak Washington dan Paris untuk ikut campur. Mikati mengatakan bahwa komunikasi diplomatik telah meningkat untuk menghentikan pelanggaran Israel, termasuk rencana perekrutan baru oleh tentara Lebanon untuk memperkuat kehadiran mereka di wilayah selatan.
AS dan Prancis berperan penting dalam mengawasi gencatan senjata ini. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matt Miller, menyatakan bahwa gencatan senjata "masih berlaku" meskipun ada beberapa pelanggaran yang telah diprediksi sebelumnya. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, mendesak kedua belah pihak untuk mematuhi kesepakatan tersebut.
Sebuah misi yang dipimpin oleh AS telah dibentuk untuk memantau dan menegakkan gencatan senjata, namun belum mulai beroperasi. Lebanon mendesak misi tersebut untuk segera memastikan penghentian pelanggaran oleh Israel. Menurut sumber diplomatik, pertemuan pertama komite pemantau akan berlangsung dalam waktu dekat di Beirut, di tengah peningkatan serangan yang terus berlanjut.