Bermula Tudingan PDIP 'Partai Cokelat' Cawe-cawe, ISESS Ungkap Plus-Minus jika Polri di Bawah Kemendagri

Selasa, 03 Desember 2024 | 15:37 WIB
Bermula Tudingan PDIP 'Partai Cokelat' Cawe-cawe, ISESS Ungkap Plus-Minus jika Polri di Bawah Kemendagri
Bermula Tudingan PDIP 'Partai Cokelat' Cawe-cawe, ISESS Ungkap Plus-Minus jika Polri di Bawah Kemendagri. (ANTARA/I.C. Senjaya)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menanggapi adanya desakan PDI Perjuangan (PDIP) agar Polri berada di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Desakan itu muncul setelah elite PDIP menuding ada cawe-cawe 'Partai Cokelat' alias 'Parcok' di Pilkada 2024.

Khairul mengatakan penempatan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah lama menjadi salah satu wacana dalam reformasi struktur kepolisian. Gagasan ini muncul dari pandangan bahwa Kemendagri, sebagai pengelola urusan pemerintahan dalam negeri, memiliki kedekatan langsung dengan dinamika tata kelola sipil dan kebutuhan masyarakat di tingkat daerah.

Tetapi menurutnya, jika Polri dipindahkan ke bawah Kemendagri dapat membuka beberapa kemungkinan, baik positif maupun negatif.

"Dengan berada lebih dekat dengan pemerintah daerah, Polri bisa menjadi lebih responsif terhadap masalah ketertiban lokal, terutama dalam mengatasi masalah yang lebih spesifik di tingkat daerah. Akan tetapi, hal ini juga meningkatkan risiko bahwa Polri akan menjadi lebih politis dan terkooptasi dalam urusan yang lebih mengarah pada kepentingan kekuasaan," kata Khairul kepada Suara.com, Selasa (3/12/2024).

Khairul Fahmi, Institute for Security and Strategic Studies (ISESS).(Dokumentasi Pribadi)
Khairul Fahmi, Institute for Security and Strategic Studies (ISESS).(Dokumentasi Pribadi)

Khairul mengatakan model Polri di bawah Kemendagri bukannya tanpa tantangan.

Salah satu persoalan utama adalah risiko terhadap netralitas Polri. Ia berujar Kemendagri merupakan kementerian politik yang berada dekat dengan kekuasaan eksekutif. Hubungan tersebut berpotensi menciptakan celah intervensi politik terhadap Polri, terutama dalam konteks penegakan hukum yang melibatkan kepentingan pihak-pihak tertentu.

"Independensi Polri, yang seharusnya menjadi pilar penting dalam menjaga supremasi hukum, dikhawatirkan akan tergerus jika terlalu lekat dengan kementerian yang memiliki hubungan erat dengan penguasa. Selain itu, beban administratif juga menjadi persoalan yang tak bisa diabaikan," kata Khairul.

Khairul berujar Kemendagri selama ini berfokus pada urusan pemerintahan daerah, harus memperluas kapasitasnya untuk mengelola aspek keamanan nasional yang kompleks. Penambahan fungsi tersebut memerlukan reorganisasi besar-besaran, baik dari segi sumber daya manusia, infrastruktur, hingga mekanisme pengawasan.

"Jika tidak diantisipasi dengan baik, langkah ini berisiko membuat Kemendagri kewalahan dan justru mengurangi efektivitasnya dalam menjalankan tugas-tugas yang sudah ada. Dengan segala potensi manfaat dan tantangannya, opsi ini memerlukan kajian mendalam. Bukan hanya soal kemampuan Kemendagri untuk mengakomodasi fungsi baru, tetapi juga bagaimana menjaga keseimbangan antara efektivitas operasional Polri dan prinsip-prinsip independensi serta akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas-tugasnya," tutur Khairul.

Baca Juga: Tonjolkan Embel-embel Bantuan Wapres tapi Pakai Duit Negara, Gibran Mau Tunggangi Program Prabowo?

Sementara itu, terkait opsi menempatkan Polri kembali di bawah TNI, Khairul mengatakan bukanlah opsi yang layak dipertimbangkan karena jelas bertentangan dengan agenda reformasi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI