"Padahal saya sudah berjuang banget menjalani tes seperti orang umum. Paling sulit itu tes tulis karena saya low vision, jadi butuh effort lebih. Setelah diterima malah gitu," ujar Ajiwan.
Kisah seperti yang dialami Aldi dan Ajiwan hanyalah puncak gunung es dari persoalan besar yang dihadapi penyandang disabilitas di Indonesia. Meski Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengamanatkan perusahaan untuk mempekerjakan minimal satu persen penyandang disabilitas, kenyataan di lapangan sering kali tidak seindah aturan di atas kertas.

Kondisi Bonus Demografi Penyandang Disabilitas
Indonesia saat ini berada di fase puncak bonus demografi, sebuah fase ketika penduduk usia produktif mendominasi populasi sehingga dapat memberikan keuntungan ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia di pertengahan tahun 2024 mencapai 281,6 juta jiwa.
Merujuk data World Population Prospects yang dikeluarkan oleh United Nations tahun 2024, populasi penduduk Indonesia tahun 2025 diprediksi meningkat menjadi 286 juta orang yang terdiri atas 143 juta orang laki-laki dan 142 juta orang perempuan. Angka ini mengalami peningkatan menjadi 296 juta orang di tahun 2030 dengan pembagian 148 juta laki-laki dan 147 juta orang perempuan. Selanjutnya meningkat menjadi 317 juta orang di tahun 2045 yang terdiri atas 159 juta laki-laki dan 158 juta orang perempuan. Dalam rentang waktu tersebut, populasi penduduk akan didominasi oleh penduduk produktif berusia rata-rata 30 sampai 35 tahun.
Dalam konteks bonus demografi, penyandang disabilitas usia produktif juga menjadi bagian penting dari kelompok tersebut. Data dari ‘Buku Penduduk Berkualitas Menuju Indonesia Emas 2045’ yang dikeluarkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Kementerian PPN/Bappenas) menyebutkan, pada tahun 2024 diperkirakan ada 50 ribu bayi penyandang disabilitas dari total 4,56 juta bayi yang lahir. Di masa depan, mereka akan tumbuh menjadi individu yang berpotensi besar jika diberikan akses dan peluang yang setara.
Di sisi lain, Indeks Inklusivitas Global tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di peringkat 125 dengan skor 26,50 dalam pelaksanaan pembangunan inklusif. Posisi ini jauh di bawah negara-negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Singapura, dan Thailand. Meski sedikit lebih baik dari Malaysia dan Myanmar, peringkat tersebut mencerminkan masih rendahnya pelaksanaan pembangunan inklusif di Tanah Air.

Angka-angka ini relevan dengan realitas penyandang disabilitas di Indonesia. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2020, terdapat 17,95 juta penduduk penyandang disabilitas berusia kerja (15 tahun ke atas), atau sekitar 8,8 persen dari total penduduk usia kerja. Namun, hanya 7,68 juta orang atau 5,98 persen dari total penduduk yang bekerja. Ironisnya, angka ini bahkan mengalami penurunan hingga 20,25 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Mereka terdiri atas pekerja laki-laki sebanyak 57,73 persen dan pekerja perempuan sebanyak 42,27 persen. Dilihat dari tempat tinggal, pekerja disabilitas lebih banyak tinggal di pedesaan, yakni sebesar 55,74 persen, sementara pekerja yang tinggal di kota hanya 44,26 persen.
Sementara itu, jika dilihat dari lapangan usaha atau sektor pekerjaannya, kebanyakan pekerja disabilitas berada di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 47,9 persen, Perdagangan besar dan eceran 16,02 persen, industri pengolahan 9,68 persen. Dilihat dari status pekerjaan utamanya didominasi pekerja berusaha sendiri sebesar 28,09 persen dan dibantu buruh tidak tetap sebesar 26,36 persen.
Ajiwan Hendradi yang menjabat sebagai Staf di Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) memahami betul lika-liku perjuangan para penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Dalam kesehariannya, Ajiwan kerap menerima laporan dari rekan-rekan penyandang disabilitas tentang sulitnya mendapatkan pekerjaan di sektor formal.
Meski lowongan kerja khusus disabilitas semakin banyak dibuka, kenyataan yang dihadapi para pencari kerja disabilitas ini tidaklah mudah. Banyak perusahaan masih menetapkan syarat yang dianggap diskriminatif.