Suara.com - Data menunjukkan dari 17,95 juta penduduk usia kerja penyandang disabilitas, hanya 7,68 juta yang bekerja—jauh tertinggal dari penduduk non-disabilitas. Mampukah pemerintah meraup bonus demografi dan menciptakan kesetaraan hak bagi semua tanpa ada yang tertinggal?
Aldi kembali ke rumah dengan langkah berat. Siang itu, langit mendung seolah mencerminkan suasana hatinya. Sang ibu menyambutnya dengan wajah heran. Bukannya masih sibuk bekerja di gudang sebuah perusahaan ritel di Tangerang, Aldi justru pulang lebih cepat dari biasanya. Jam baru menunjukkan sekitar pukul 13.00 WIB kala itu.
"Aku sudah berhenti kerja, bu. Aku tidak kuat. Senior di sana selalu menyuruhku mengerjakan kerjaannya, padahal kerjaanku juga masih banyak," ujarnya kepada sang ibu dengan suara tertahan dibantu bahasa isyarat dari gerakan tangannya.
Kepada Suara.com pada awal November 2024 lalu, pemuda penyandang disabilitas tuli itu menceritakan kembali detail perihnya pengalaman kerja yang ia lalui tahun 2020 silam. Setelah lulus dari SMA Luar Biasa, ia diterima sebagai staf gudang pusat di sebuah perusahaan ritel yang memiliki cabang di seluruh kota di Pulau Jawa. Dengan semangat yang membuncah, Aldi memulai perjalanan karirnya, ia bangga bisa bergabung di perusahaan yang dikenal rutin membuka peluang kerja bagi penyandang disabilitas.
Namun, harapan itu hancur dalam waktu singkat. Baru sebulan bekerja, Aldi menjadi korban diskriminasi dari rekan-rekan non-disabilitas yang menganggap dirinya hanya beban.
"Ada yang meledekku, katanya aku cacat," kata Aldi. "Lalu ada senior yang hampir setiap hari suruh aku bongkar muatan truk padahal itu seharusnya tugasnya. Dia pergi santai sambil merokok."
Aldi bukan satu-satunya korban. Beberapa rekannya sesama penyandang disabilitas di perusahaan itu juga berbagi cerita serupa. Tuntutan pekerjaan yang seharusnya disertai dengan dukungan inklusif justru berubah menjadi tekanan.
Sulitnya bekerja dengan aman di dunia kerja juga dialami oleh Ajiwan Hendradi, seorang penyandang disabilitas netra low vision. Pada tahun 2016 Ajiwan mengikuti proses rekrutmen sebagai staf customer service di sebuah perusahaan operator telekomunikasi seluler di Yogyakarta. Lowongan tersebut dibuka secara umum, tanpa spesifikasi khusus untuk penyandang disabilitas. Dengan tekad kuat, ia melamar dan berhasil melewati seleksi administrasi, tes tulis hingga wawancara. Tak hanya sekadar lolos, Ajiwan berhasil mengungguli puluhan pelamar non-disabilitas lainnya, ia membuktikan bahwa keterbatasannya tidak menjadi penghalang untuk bersaing. Namun, kebanggaan itu hanya berlangsung sejenak.
Pada pekan pertama bekerja, Ajiwan mulai menemui kendala. Ia kesulitan membaca tulisan di layar monitor, alat utama yang harus ia gunakan untuk melayani pelanggan. Ia meminta perusahaan menyediakan perangkat pembaca layar yang bisa membantunya menjalankan tugas dengan lebih efektif.
Sayangnya, harapan itu berujung pada kekecewaan. Alih-alih diberikan solusi, perusahaan justru keberatan menyediakan fasilitas tambahan untuk Ajiwan. Kondisi itu membuat Ajiwan terpaksa meninggalkan pekerjaan yang telah ia perjuangkan dengan susah payah.
"Padahal saya sudah berjuang banget menjalani tes seperti orang umum. Paling sulit itu tes tulis karena saya low vision, jadi butuh effort lebih. Setelah diterima malah gitu," ujar Ajiwan.
Kisah seperti yang dialami Aldi dan Ajiwan hanyalah puncak gunung es dari persoalan besar yang dihadapi penyandang disabilitas di Indonesia. Meski Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengamanatkan perusahaan untuk mempekerjakan minimal satu persen penyandang disabilitas, kenyataan di lapangan sering kali tidak seindah aturan di atas kertas.
Kondisi Bonus Demografi Penyandang Disabilitas
Indonesia saat ini berada di fase puncak bonus demografi, sebuah fase ketika penduduk usia produktif mendominasi populasi sehingga dapat memberikan keuntungan ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia di pertengahan tahun 2024 mencapai 281,6 juta jiwa.
Merujuk data World Population Prospects yang dikeluarkan oleh United Nations tahun 2024, populasi penduduk Indonesia tahun 2025 diprediksi meningkat menjadi 286 juta orang yang terdiri atas 143 juta orang laki-laki dan 142 juta orang perempuan. Angka ini mengalami peningkatan menjadi 296 juta orang di tahun 2030 dengan pembagian 148 juta laki-laki dan 147 juta orang perempuan. Selanjutnya meningkat menjadi 317 juta orang di tahun 2045 yang terdiri atas 159 juta laki-laki dan 158 juta orang perempuan. Dalam rentang waktu tersebut, populasi penduduk akan didominasi oleh penduduk produktif berusia rata-rata 30 sampai 35 tahun.
Dalam konteks bonus demografi, penyandang disabilitas usia produktif juga menjadi bagian penting dari kelompok tersebut. Data dari ‘Buku Penduduk Berkualitas Menuju Indonesia Emas 2045’ yang dikeluarkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Kementerian PPN/Bappenas) menyebutkan, pada tahun 2024 diperkirakan ada 50 ribu bayi penyandang disabilitas dari total 4,56 juta bayi yang lahir. Di masa depan, mereka akan tumbuh menjadi individu yang berpotensi besar jika diberikan akses dan peluang yang setara.
Di sisi lain, Indeks Inklusivitas Global tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di peringkat 125 dengan skor 26,50 dalam pelaksanaan pembangunan inklusif. Posisi ini jauh di bawah negara-negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Singapura, dan Thailand. Meski sedikit lebih baik dari Malaysia dan Myanmar, peringkat tersebut mencerminkan masih rendahnya pelaksanaan pembangunan inklusif di Tanah Air.
Angka-angka ini relevan dengan realitas penyandang disabilitas di Indonesia. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2020, terdapat 17,95 juta penduduk penyandang disabilitas berusia kerja (15 tahun ke atas), atau sekitar 8,8 persen dari total penduduk usia kerja. Namun, hanya 7,68 juta orang atau 5,98 persen dari total penduduk yang bekerja. Ironisnya, angka ini bahkan mengalami penurunan hingga 20,25 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Mereka terdiri atas pekerja laki-laki sebanyak 57,73 persen dan pekerja perempuan sebanyak 42,27 persen. Dilihat dari tempat tinggal, pekerja disabilitas lebih banyak tinggal di pedesaan, yakni sebesar 55,74 persen, sementara pekerja yang tinggal di kota hanya 44,26 persen.
Sementara itu, jika dilihat dari lapangan usaha atau sektor pekerjaannya, kebanyakan pekerja disabilitas berada di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 47,9 persen, Perdagangan besar dan eceran 16,02 persen, industri pengolahan 9,68 persen. Dilihat dari status pekerjaan utamanya didominasi pekerja berusaha sendiri sebesar 28,09 persen dan dibantu buruh tidak tetap sebesar 26,36 persen.
Ajiwan Hendradi yang menjabat sebagai Staf di Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) memahami betul lika-liku perjuangan para penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Dalam kesehariannya, Ajiwan kerap menerima laporan dari rekan-rekan penyandang disabilitas tentang sulitnya mendapatkan pekerjaan di sektor formal.
Meski lowongan kerja khusus disabilitas semakin banyak dibuka, kenyataan yang dihadapi para pencari kerja disabilitas ini tidaklah mudah. Banyak perusahaan masih menetapkan syarat yang dianggap diskriminatif.
“Misalnya, lowongan untuk penyandang disabilitas, tapi syaratnya harus bisa melihat, mendengar, atau hanya menerima disabilitas fisik yang tidak berat. Jadi, sebenarnya mereka hanya menerima penyandang disabilitas yang tidak punya hambatan berarti,” ujar Ajiwan.
Ajiwan mencatat, meskipun perusahaan-perusahaan kini mulai membuka peluang bagi penyandang disabilitas, syarat yang ditetapkan sering kali justru menjadi penghalang. Diskriminasi terselubung seperti ini mencerminkan masih lemahnya pemahaman akan inklusivitas.
Salah satu harapan besar bagi penyandang disabilitas adalah keberadaan Unit Layanan Disabilitas (ULD) Ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. ULD yang mulai dibangun di berbagai daerah di Indonesia ini dirancang untuk menjadi penghubung antara penyandang disabilitas dan dunia kerja, menyediakan pelatihan, informasi hingga pendampingan yang dibutuhkan.
Namun, Ajiwan menegaskan penting untuk memastikan ULD tidak hanya menjadi simbol formalitas. “Harapannya dengan ULD ini bisa menjadi jembatan bagi teman-teman disabilitas untuk meraih pekerjaan yang layak. Seharusnya bisa dimaksimalkan,” katanya.
Ajiwan juga mengingatkan bahwa menyediakan tempat kerja yang inklusif bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Ia mendorong pemerintah untuk lebih tegas dalam memastikan implementasi UU Nomor 8 Tahun 2016 berjalan sesuai tujuan.
Upaya Mengubah Tantangan Menjadi Keuntungan
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas, Maliki mengatakan, paradigma melihat disabilitas sebagai individu yang disable atau tidak mampu kini sudah berubah. Mereka bukan tidak mampu, melainkan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam konteks kependudukan, para penyandang disabilitas juga dapat memberikan keuntungan dalam bonus demografi jika diberdayakan dengan tepat.
"Kalau kita memberikan bantuan-bantuan yang bersifat memberdayakan, mereka relatif akan bisa melakukan hal yang positif dan menjadi bonus demografi," kata Maliki saat dihubungi Suara.com, Rabu (25/11/2024).
Pemerintah menerjemahkan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dengan menyusun rencana pembangunan inklusif terhadap disabilitas tahun 2020-2045 yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019. Di dalamnya terdapat Rencana Induk Penyandang Disabilitas (RIPD) yang berisi tujuh sasaran strategis utama untuk mencapai pembangunan inklusif.
Ketujuh rencana strategis tersebut terdiri atas pendataan dan perencanaan yang inklusif bagi penyandang disabilitas, penyediaan lingkungan tanpa hambatan bagi penyandang disabilitas, perlindungan hak, akses politik, dan keadilan bagi penyandang disabilitas, pemberdayaan dan kemandirian penyandang disabilitas, perwujudan ekonomi inklusif bagi penyandang disabilitas, pendidikan dan keterampilan bagi penyandang disabilitas, serta rencana strategis terakhir yakni akses dan pemerataan layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas.
RIPD ini selanjutnya diterjemahkan ke dalam Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RAN PD) berupa dokumen perencanaan inklusif penyandang disabilitas jangka menengah atau per lima tahun. Pada RAN PD 2020-2024, Maliki mencatat ada beberapa capaian dari pemenuhan sarana prasarana ramah disabilitas, pembuatan Modul Pelatihan Pembangunan Bencana untuk disabilitas yang disusun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), perlindungan hukum dari kekerasan perempuan dan anak disabilitas oleh Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, peningkatan partisipasi disabilitas dalam Pemilu, meluncurkan program Pahlawan Ekonomi Nasional (PENA) dari Kementerian Sosial, peningkatan kualitas tenaga pengajar SLB, dan perluasan aksesibilitas layanan kesehatan dan jaminan kesehatan sesuai kebutuhan ragam disabilitas.
Ia mengklaim salah satu pencapain terbesar adalah membuat data penyandang disabilitas yang komprehensif dan inklusif melalui pendataan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) oleh Bappenas.
"Data ini mencakup data by name by adress, sehingga memberikan analisis lebih rinci dan akurat tentang kondisi kelompok penyandang disabilitas di Indonesia," kata Maliki.
Selain Bappenas yang telah melakukan pendataan inklusif, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga mulai memasukkan variabel penyandang disabilitas dalam pemutakhiran Pendataan Keluarga (PK) tahun 2024. Dari segi ketenagakerjaan, sampai tahun 2024 ini Kementerian Ketenagakerjaan telah membangun ULD di 27 provinsi, 125 kabupaten dan 48 kota untuk mendukung aksesibilitas dan tenaga kerja disabilitas.
Meski demikian, Maliki mengakui kondisi ketenagakerjaan khususnya untuk penyandang disabilitas di Indonesia masih perlu diperbaiki. Dari sisi supply, kualitas tenga kerja baik disabilitas maupun non-disabilitas masih banyak yang belum memenuhi standar. Hal ini menyebabkan tak sedikit perusahaan justru mempekerjakan tenaga asing dengan keahlian spesifik.
"Dengan demikian orang non-disabilitas tidak mendapat pekerjaan, dia akan menekan kesempatan yang harusnya diberikan ke disabilitas," kata Maliki.
Sementara itu, dari sisi demand juga mengalami penurunan karena tak sedikit perusahaan yang gulung tikar belakangan ini. Hal ini menyebabkan kesempatan kerja semakin berkurang, terlebih di tengah persaingan penduduk usia muda yang mencari kerja sangat tinggi.
"Padahal kami sudah memasukkan di dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) bagaimana kita harus meningkatkan partisipasi disabilitas. Tantangannya sekarang memang cukup banyak, tapi kita harus bekerja keras untuk menjawab tantangan itu," ujarnya.
Maliki mengklaim, Bappenas bersama dengan Komite Nasional Disabilitas dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan rutin melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tujuh strategi RIPD. Hasil evaluasi dan capaian dalam RAN PD 2020-2024 ini akan menjadi masukan untuk ditindak lanjuti pada RAN PD periode selanjutnya, yakni 2025-2030.
Banyak Sisi yang Harus Dibenahi
Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Hempri Suyatna menilai Indonesia masih belum siap meraup bonus demografi, baik untuk penduduk non-disabilitas maupun penyandang disabilitas. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM ini menyebut kapasitas tenaga kerja Indonesia harus ditingkatkan lagi supaya bisa lebih adaptid terhadap berbagai bentuk dinamika perusahaan. Pemerintah harus lebh fokus dalam meningkatkan kapasitas tenaga kerja muda, seperti menambah soft skill atau kewirausaan dalam kurikulum sekolah.
"Terbukti angka pengangguran terbuka kita masih tinggi. Artinya belum match antara kebutuhan tenaga kerja dengan industri Ini saya kira jadi tantangan," ujar Hempri.
Hempri menegaskan inklusifitas tidak hanya sekadar melibatkan penyandang disabilitas dalam sektor ketenagakerjaan saja. Namun lebih dari itu, ia mendorong agar ada keterbukaan informasi supaya bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Di sisi lain, United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia Representative, Hassan Mohtashami mengapresiasi komitmen pemerintah Indonesia untuk tidak meninggalkan seorang pun dalam pembangunan berkelanjutan, inklusif dan mengutamakan hak asasi manusia sebagaimana disepakati dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) tahun 1994 di Kairo.
Namun, upaya tertulis yang telah dilahirkan tidak cukup untuk memaksimalkan bonus demografi secara inklusif. Bonus demografi hanya dapat berubah menjadi kemakmuran jika negara berinvestasi dalam pemberdayaan, pendidikan, dan lapangan kerja bagi orang muda, serta memastikan kebijakan-kebijakan ekonomi makro, ketenagakerjaan, dan human capital yang menghasilkan perluasan besar lapangan kerja yang aman dan terjamin
Hassan menilai, Indonesia berada di titik puncak potensi bonus demografi, tetapi masih banyak tantangan yang harus dihadapi agar bisa menikmati peluangnya.
"Negara berkembang, termasuk Indonesia, harus memprioritaskan hal-hal seperti membangun kapasitas produktif seluruh kelompok penduduk termasuk perempuan dan anak perempuan, serta orang-orang dengan disabilitas; memastikan pendidikan universal dan berkualitas tinggi yang disesuaikan dengan peluang ekonomi baru, dan memperluas lapangan kerja yang aman untuk memanfaatkan bonus demografi," ujar Hassan dalam wawancara tertulis kepada Suara.com.
Lebih lanjut, Hassan menjelaskan bahwa orang dengan disabilitas juga mampu berkontribusi dalam pembangunan seperti halnya kelompok lain. Justru pembangunan yang melibatkan kelompok disabilitas dengan setara dan memberdayakan mereka akan memaksimalkan hasil pembangunan yang merata.
Hassan merekomendasikan agar pemerintah Indonesia bisa segera melakukan strategi khusus untuk memaksimalkan potensi bonus demografi. Hal-hal yang perlu dilakukan, yakni membuat ketersediaan data terpilah untuk menginformasikan pembuatan kebijakan berbasis bukti, memastikan penduduk usia kerja termasuk disabilitas memiliki kesehatan yang baik, pendidikan berkualitas dan pekerjaan yang layak, serta menerapkan panduan strategi inklusi disabilitas UNFPA untuk menjalankan proses inklusi penyandang disabilitas.
"Ketika ini terjadi, manfaat ekonomi nasional bisa sangat besar. Di sinilah kita bisa meraup bonus demografi," ujarnya.
Sementara itu dari sisi ketenagakerjaan, Staf Program International Labour Organization (ILO), Dina Novita Sari memandang, Indonesia masih memiliki tantangan dalam mengoptimalkan bonus demografi yang inklusif bagi bagi penyandang disabilitas. Berbagai tantangan yang dihadapi yakni stigma dan diskriminasi yang masih kuat di masyarakat, akses terbatas ke pendidikan dan pelatihan kerja yang berkualitas, infrastruktur dan aksesibilitas yang belum memadai, keterbatasan data yang akurat tentang penyandang disabilitas, kapasitas kelembagaan yang masih perlu ditingkatkan dan koordinasi antar pemangku kepentingan yang belum optimal.
Selain itu, ILO juga menyoroti tingkat partisipasi angkatan kerja penyandang disabilitas masih relatif lebih rendah dibanding populasi umum. Meskipun Indonesia telah memiliki UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, implementasinya masih perlu ditingkatkan.
"Masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan hak atas pekerjaan yang layak menjadi kenyataan bagi setiap penyandang disabilitas," kata Dina kepada Suara.com.
Untuk memastikan kesetaraan hak bagi penyandang disabilitas di sektor ketenagakerjaan, ILO memberikan delapan rekomendasi untuk pemerintah Indonesia. Kedelapan rekomendasi itu meliputi meningkatkan sistem pendataan penyandang disabilitas, membangun jaringan focal point untuk memajukan inklusi disabilitas, mengembangkan program pelatihan kerja inklusif sesuai kebutuhan pasar, meningkatkan aksesibilitas infrastruktur publik dan tempat kerja, melibatkan organisasi penyandang disabilitas dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi program, memperkuat koordinasi antar kemebterian/lembaga terkait, meningkatkan kapasitas staf terkait inklusi disabilitas.
"Serta memastikan komunikasi yang menghormati penyandang disabilitas," ujar Dina.
Berbagai strategi dan rekomendasi yang diberikan oleh para pihak ini semata-mata untuk menciptakan lingkungan yang adil dan setara bagi penyandang disabilitas. Aldi, seorang disabilitas tuli yang pernah mendapat diskriminasi di tempat kerja berharap pemerintah dan perusahaan tidak hanya berhenti pada formalitas penerimaan pekerja disabilitas.
"Kami juga ingin merasa aman dan diperlakukan setara di tempat kerja," ujarnya.