Rusia Tuding Barat Manfaatkan Gencatan Senjata untuk Persenjatai Ukraina

Bella Suara.Com
Senin, 02 Desember 2024 | 22:27 WIB
Rusia Tuding Barat Manfaatkan Gencatan Senjata untuk Persenjatai Ukraina
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov. (Yuri KOCHETKOV / POOL / AFP)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, menuding negara-negara Barat berupaya mendorong gencatan senjata di Ukraina demi memberikan waktu bagi Kyiv untuk memperkuat militernya dengan senjata canggih.

Pernyataan ini disampaikan Lavrov saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Hungaria, Peter Szijjarto, di Moskow, Senin.

"Barat mulai berbicara tentang gencatan senjata sebagai cara untuk memberi Ukraina jeda, sekaligus memberikan mereka kesempatan mempersenjatai Kyiv dengan senjata jarak jauh modern," ujar Lavrov.

"Ini, tentu saja, bukanlah jalan menuju perdamaian," tambahnya.

Baca Juga: Kanselir Jerman Olaf Scholz Kunjungi Kyiv, Siap Kucurkan Dana Rp10 Triliun untuk Bantu Ukraina

Sementara itu, Kanselir Jerman Olaf Scholz melakukan kunjungan mendadak ke Kyiv pada hari yang sama. Dalam pertemuan tersebut, Scholz membahas situasi terbaru dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy.

Scholz sebelumnya juga menjadi pemimpin Barat pertama yang bertemu langsung dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam lebih dari setahun.

Dalam pertemuan tersebut, Scholz mendesak Kremlin agar terbuka untuk mencapai kesepakatan damai dengan Kyiv.

Namun, proses negosiasi ini dihadapkan pada persyaratan berat dari kedua belah pihak. Putin menuntut agar Ukraina menyerahkan wilayah di timur dan selatan sebagai syarat penghentian perang, sementara Zelenskyy menegaskan tidak akan menyerahkan wilayah Ukraina demi mencapai perdamaian.

Zelenskyy juga menekankan pentingnya jaminan keamanan dari NATO serta peningkatan persenjataan sebelum melanjutkan pembicaraan dengan Rusia.

Baca Juga: Tegang! Kapal Perang Filipina Kawal Kapal Selam Rusia di Laut China Selatan, Ada Apa?

Dalam konflik yang telah berlangsung selama tiga tahun ini, perundingan damai semakin menjadi sorotan setelah kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS bulan lalu.

Sementara negara-negara Barat terus memantau perkembangan ini, prospek perdamaian masih tampak jauh, terutama dengan tudingan dan tuntutan yang saling bertentangan dari kedua belah pihak.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI