Suara.com - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyarankan media-media di Indonesia tak menyuarakan seperti apa yang dimuat oleh media asing The Economist.
The Economist diketahui mengkritik keras Presiden RI Prabowo Subianto yang melakukan perjalanan luar negerinya beberapa waktu lalu.
Perjalanan itu dianggap dilakukan secara tergesa-gesa tanpa perencanaan yang matang. Selain itu Prabowo juga dikritik lantaran telah terjebak dengan meneken MoU dengan China soal Laut China Selatan.
"Kalau boleh saya menyarankan media-media di Indonesia agar memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Sehingga tidak ikut-ikutan menyuarakan suara-suara penuh insinuasi dan prasangka buruk dari luar," kata Hasan saat dihubungi Suara.com, Sabtu (30/11/2024).
Baca Juga: Media Asing Kritik Lawatan Prabowo, Istana: The Economist Terperangkap Cara Pandang Barat
Ia menegaskan, jika diplomasi yang dilakukan Prabowo beberapa waktu lalu sudah menggema di dunia.
"Sementara yang terlihat sudah sangat jelas dan terang benderang. Diplomasi presiden Prabowo bergema di berbagai dunia," katanya.
Ia mengatakan, jika media The Economist telah terperangkap cara pandang media barat. Menurutnya, media tersebut ingin memaksakan logika biner.
"The Economist terperangkap dengan cara pandang media barat yang sulit memahami diplomasi negara-negara dari dunia Timur yang ingin membina persahabatan dengan siapa pun. Mereka ingin memaksakan logika biner. Kalau berteman dengan RRC maka tidak bisa berteman dengan US, begitu juga sebaliknya," katanya.
Ia mengklaim jika dalam perjalanan ke luar negerinya Prabowo diterima dengan sangat baik dan penuh kehormatan di setiap negara yang disinggahi.
Baca Juga: Adu Kekayaan 8 Presiden Indonesia dari Soekarno hingga Prabowo Subianto, Siapa Paling Tajir?
"Semuanya bertemu dengan kepala negara dan kepala pemerintahan. Semua bukti foto dan video bisa dilihat di Internet. Jelas di mana pun titik kunjungan beliau, betepuk dua belah tangan," katanya.
Kemudian soal Donald Trump, kata dia, Prabowo telah menunjukan rasa sopan ala ketimuran.
"Itu pembicaraan dua orang pemimpin. Kalau pun waktu itu tidak bertemu hanya karena kendala teknis, Presiden Prabowo sedang berada di DC sementara Donald Trump sedang berada di Florida. Dan dalam waktu yang tidak berselang lama beliau harus terbang menghadiri KTT APEC di Peru," pungkasnya.
Kritik The Economist ke Prabowo
Media asing The Economist mengkritik lawatan Presiden RI Prabowo Subianto ke luar negeri pasca kemenangannya di kontestasi Pilpres 2024.
The Economist menyebut, Prabowo Subianto sebelumnya mengatakan kepada rakyat Indonesia bahwa negara membutuhkan presiden yang cukup tangguh untuk menghadapi kekuatan asing.
Namun, perjalanan luar negeri pertama Prabowo sebagai presiden membuat banyak orang bertanya-tanya apakah dia sebenarnya merujuk pada orang lain.
Pada 8 November, kurang dari tiga minggu setelah menjabat sebagai presiden, Prabowo terbang untuk memulai tur keliling dunia ke enam negara.
Perjalanan ini menunjukkan seorang pria yang sangat ingin mendapatkan persetujuan dari rekan-rekannya, terlalu percaya diri dengan kemampuannya sendiri, dan kurang mendapat nasihat yang bijaksana dari para penasihat yang masih baru.
Perjalanan ini direncanakan dengan tergesa-gesa, dan jadwalnya tetap tidak jelas hingga tur berlangsung. Prabowo awalnya berharap bisa mampir bertemu dengan Donald Trump beberapa hari setelah kemenangan pemilu Trump.
Dalam sebuah panggilan ucapan selamat yang sangat memuja, yang videonya dipublikasikan di media sosialnya, Prabowo yang tampak agak gugup, menawarkan diri untuk terbang ke "tempat Anda berada" untuk bertemu dengan Trump yang terpilih.
Trump mengabaikan tawaran itu, malah memuji kemampuan bahasa Inggris Prabowo. Prabowo, yang merupakan lulusan pendidikan internasional dan berbicara dalam empat bahasa, dengan bangga menjawab, "Semua pelatihan saya adalah Amerika, Tuan!" merujuk pada kursus yang dia ikuti di pangkalan militer AS pada 1980-an. Pada akhirnya, Prabowo hanya dapat bertemu dengan Presiden Joe Biden dan pejabat pemerintahan yang sedang keluar di Washington.
Namun tidak masalah. Pada pemberhentian pertama Prabowo di Beijing, Xi Jinping menyambut kepala negara baru ini dan rombongan besar pendukung bisnisnya dengan upacara dan kehormatan yang layak untuk garis keturunan kerajaan yang diklaim oleh presiden baru itu.
Begitu terpesonanya Prabowo sehingga ia setuju dengan rancangan pernyataan bersama China, setelah berkonsultasi sebentar dengan para diplomatnya. Pernyataan bersama itu mengorbankan posisi Indonesia yang sudah lama dipegang. Untuk pertama kalinya, pernyataan itu mengakui adanya sengketa dengan China terkait klaim atas sumber daya di Laut China Selatan.
Para pemimpin Indonesia sebelumnya selalu menolak langkah ini, karena menganggapnya sebagai pengakuan terhadap klaim China. Lebih buruk lagi, Prabowo setuju untuk mengembangkan bersama perikanan dan gas di wilayah tersebut, yang secara efektif berkomitmen untuk berbagi hasil kekayaan Indonesia.
Pernyataan itu juga mengikat Indonesia pada visi China tentang alternatif untuk tatanan dunia liberal, yang oleh Xi disebut sebagai "komunitas masa depan bersama", serta ketiga inisiatif utama di bawahnya yang mencakup pembangunan, budaya, dan keamanan.
Indonesia yang tidak terikat sebelumnya menghindari tekanan untuk mengikuti ini, menurut Klaus Heinrich Raditio, seorang dosen politik China di Sekolah Filsafat Driyarkara di Jakarta, karena menganggapnya sebagai upaya China untuk mengurangi keterlibatannya dengan Amerika dan sekutunya.
Para diplomat Indonesia sudah mencoba memberi peringatan kepada Prabowo tentang jebakan-jebakan ini, namun keberatan mereka diabaikan begitu saja oleh menteri luar negeri baru Indonesia, seorang mantan ajudan Prabowo yang kurang berpengalaman.
Bahkan anggota keluarganya, yang memegang beberapa peran penting, kesulitan untuk berbicara dengan tegas atas nama presiden. Hashim Dojojohadikusumo, saudara laki-laki Prabowo, menemani Prabowo ke Beijing lalu berpisah untuk memimpin delegasi Indonesia ke COP.
Di sana, ia mengumumkan rencana untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada batu bara. Namun, Prabowo malah melewatkan rencana itu di KTT G20 di Rio, di mana dia berjanji untuk berhenti menggunakan batu bara sepenuhnya pada tahun 2040.
Salah satu masalah dengan Prabowo adalah sering kali tidak jelas apakah dia benar-benar serius dengan apa yang dia katakan. Terlalu ingin menyenangkan orang lain, dia cenderung memberi tahu orang apa yang mereka ingin dengar.