Jurnalisme Hijau di Era Digital: Membumikan Isu Lingkungan Nan Kompleks Agar Tak Membosankan

Risna Halidi Suara.Com
Sabtu, 23 November 2024 | 18:57 WIB
Jurnalisme Hijau di Era Digital:  Membumikan Isu Lingkungan Nan Kompleks Agar Tak Membosankan
Suasana Pulau G yang tergenang terkena abrasi di perairan Teluk Jakarta, Jakarta Utara Jumat, (30/9/2022). [ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kompleksitas isu lingkungan kerap dianggap sulit untuk dikemas menjadi berita sederhana namun tetap informatif.

Istilah ilmiah yang rumit serta data yang membingungkan, menjadi salah satu tantangan utama bagi media untuk menyampaikan informasi tersebut.

Nelayan di Kota Makassar mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan membatalkan rencana reklamasi di sekitar Pulau Lae-lae, Sabtu 4 Maret 2023 [SuaraSulsel.id/Istimewa]
Nelayan di Kota Makassar mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan membatalkan rencana reklamasi di sekitar Pulau Lae-lae, Sabtu 4 Maret 2023 [SuaraSulsel.id/Istimewa]

Hal itu diamini oleh Yosep Suprayogi
Head of Newsroom Betahita.id, media yang fokus mengabarkan isu lingkungan dan sumber daya alam.

"Makin menantang karena isu (yang) kami angkat sudah tidak mainstream, kami juga tidak mempunyai kemampuan media sosial yang cukup baik dibanding (media) lain," kata Yosep dalam acara Green Press Community, Sabtu (23/11/2024).

Baca Juga: Dukung Perombakan Pejabat di Lingkungan Pemprov DKI, Pengamat: Tingkatkan Sinergitas Antar Birokrasi Dari DKI ke DKJ

Dalam talkshow bertajuk Peluang dan Tangangan Jurnalisme Lingkungan di Era Teknologi Digital tersebut, Yosep juga menyoroti tentang sebaran informasi dan berita terkait isu-isu lingkungan.

Kata Yosep, ada salah satu pulau di Indonesia yang nampaknya tak terpengaruh dengan isu dan berita lingkungan, sebesar apa pun dampaknya bagi masyarakat.

"Isu lingkungan yang ada di Indonesia itu terlihat besar bagi kita, tetapi kalau aku coba lihat dan analisis persebaran informasinya, ada satu pulau yang streril dari isu itu. Mau sebesar apapun isu Rempang, isu tidak masuk ke (audiens) Pulau Jawa," tambahnya.

"Kalau tidak, semua orang di Pulau Jawa akan menganggap semuanya baik-baik saja. Itu yang mengerikan bagi saya."

Sementara itu Head of Narasi Newsroom, Laban Laisila, menjelaskan mengenai manfaat penggunaan teknologi untuk menyusun berita-berita kompleks terkait isu lingkungan.

Baca Juga: Jadi Ajang Lari Ramah Lingkungan, Pertamina Eco RunFest 2024 Bakal Diikuti 21 Ribu Peserta

"Kami selalu belajar hal-hal baru bukan karena kami canggih, ini bicara soal bagaimana rasa penasaran kami memakai tools yg tersedia," ujar Laban dalam talkshow yang sama.

"Setiap konten tools-nya beda, paling umum ChatGPT, itu lah yang paling penting bagaimana kita mencari tools, cari di Google pasti ada. Tantangan selanjutnya, ada gak duitnya, (tools) berbayar."

Acara Green Press Community, Sabtu (23/11/2024) di Amphitheater Area, M-Bloc Space Jakarta Selatan. (Suara.com/ Risna Halidi)
Acara Green Press Community, Sabtu (23/11/2024) di Amphitheater Area, M-Bloc Space Jakarta Selatan. (Suara.com/ Risna Halidi)

Di sisi lain, tantangan utama dalam pemberitaan isu lingkungan adalah: isu lingkungan dianggap kurang populer bagi banyak orang terutama audiens di kalangan milenial dan generasi Z.

Padahal menurut Content Manager Earth Journalism Network, Dewi Laila Sari, isu lingkungan menjadi isu kelima yang disukai milenial dan generasi Z.

"Isu lingkungan itu sangat berhubungan dengan mereka di masa depan, tapi mengapa tidak populer-populer banget? Makanya kita harus memanfatkan media sosial. Jadi tipsnya, tolong bikin konsep yang memang menarik untuk target audiens itu (milenial dan gen Z)," pungkas Dewi.

Acara Green Press Community sendiri digelar pada Sabtu (23/11/2024) di kawasan Amphitheater Area, M-Bloc Space, Jakarta Selatan.

Acara sendiri dibuka sejak pukul 09:00 WIB dan ditutup dengan agenda Closing Ceremony di pukul 19:00 sampai 21:00 WIB. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI