Suara.com - Bagi Kamal Mahdi (14), kenangan tentang kehidupan sebelum perang masih melekat di benaknya. Hidupnya dulu diisi dengan rutinitas sekolah, bermain dengan teman, dan suasana rumah yang damai. Namun, segalanya berubah drastis sejak serangan Israel pada 7 Oktober 2023.
“Dulu ayah saya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kami punya makanan sehat, air bersih, dan kebutuhan dasar lainnya. Sekarang kami hidup di tengah perang,” ujar Mahdi, yang terpaksa mengungsi bersama keluarganya ke Jalur Gaza bagian selatan.
Kehidupan di pengungsian penuh dengan ketidakpastian. Setiap hari, Mahdi dan keluarganya merasa dekat dengan kematian, dengan serangan udara Israel yang terus terjadi.
Air bersih, yang dulunya mudah diakses, kini menjadi barang mewah. Mahdi harus berjalan jauh untuk mendapatkan seember air asin bagi keluarganya.
Baca Juga: Sebut Tel Aviv Akan Membayar Mahal, Hizbullah Janji Balas Dendam Atas Kematian Komandan Media
Kisah serupa dialami Sabrin Radi (12), anak perempuan yang telah berpindah pengungsian sebanyak 15 kali dalam setahun terakhir. Bersama lima saudaranya, ia harus menempuh perjalanan panjang demi sepotong roti dan beberapa makanan kaleng.
“Saya rindu makanan yang enak dan sehat, juga kehidupan saya sebelum perang. Hidup seperti ini sangat berat,” katanya.
Sejak Oktober 2023, Jalur Gaza menjadi medan konflik yang mematikan. Serangan besar-besaran Israel, sebagai respons atas serangan Hamas, telah menyebabkan kematian lebih dari 43.000 warga Palestina dan melukai lebih dari 104.000 lainnya.
Situasi ini membuat anak-anak Palestina kehilangan hak-hak dasar mereka.
James Elder, juru bicara UNICEF, menggambarkan Gaza sebagai perwujudan neraka di dunia nyata bagi lebih dari satu juta anak-anak. Menurutnya, kondisi di Gaza semakin memburuk setiap hari akibat serangan udara dan operasi militer.
Baca Juga: Gempur Palmyra, Rudal Israel Tewaskan 36 Orang di Suriah
"Gaza merupakan perwujudan neraka di dunia nyata bagi 1 juta anak-anak di sana. Dan keadaannya semakin buruk dari hari ke hari, karena kita melihat dampak mengerikan dari serangan udara dan operasi militer setiap hari terhadap anak-anak Palestina," kata Elder.
"Saat ini, keadaan serba kekurangan melanda seluruh Gaza. Menjadi pengungsi, sekali lagi, hanya menyebabkan lebih banyak penderitaan dan kondisi yang lebih buruk bagi anak-anak," lanjutnya.
Adam Seif, anak lain yang mengungsi di Deir al-Balah, merasakan kehilangan masa kecilnya.
“Kami seharusnya punya hak untuk hidup, bermain, makan, dan belajar seperti anak-anak lain di dunia. Tapi perang membuat kami kehilangan semuanya,” katanya.
Bagi anak-anak di Gaza, masa kecil yang seharusnya menjadi waktu untuk bermain dan belajar berubah menjadi perjuangan untuk bertahan hidup. Mereka kini menghadapi kenyataan yang jauh dari normal, kehilangan harapan, dan menghadapi masa depan yang suram.