Suara.com - Kebijakan pemerintah menetapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang mulai diberlakukan per 1 Januari 2025 menuai banyak sorotan dan kritikan tajam.
Salah satunya dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang dengan tegas menyebut kalau kebijakan tersebut justru paradoks.
Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan bahwa momen kenaikan PPN itu sangat tidak tepat karena kondisi ekonomi makro di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Walau PPN menyasar midle class, tapi kalau segmen midle class mengurangi belanja mengingat barangnya mahal krn kena PPN 12%, toh masyarakat low income juga yg akan kena eksesnya. Apalagi fenomena sosial dan ekonomi kelompok midle class sedang drop, malah cenderung semaput," kata Tulus dalam keterangannya, Kamis (21/11/2024).
Hal paradoks lainnya, sambung Tulus, pemerintah justru tidak mengeluarkan kebijakan yang sama terhadap cukainrokok yang dinilai lebih layak dinaikan pajaknya. Serta penetapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Menurut Tulus, apabila tujuan pemerintah menaikan PPN untuk menambah kas negara, justru lebih baik menaikkan cukai rokok dan mengenakan cukai pada MBDK
"Sama-sama dapat uang karena dengan menaikkan cukai rokok dan menerapkan cukai MBDK bermanfaat untuk aspek pengendalian dan kesehatan masyarakat. Jadi sebaiknya pemerintah menerapkan kebijakan yang lebih rasional," sarannya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN 12 persen akan tetap dilaksanakan muali 1 Januari 2025. Pengenaan PPN 12 persen ity mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmoniasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dia mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN telah atas dasar pertimbangan untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca Juga: Berlatar Garuda Biru, Seruan Tolak PPN 12 Persen di Medsos Bakal Masif Seperti Peringatan Darurat?
Sebelumnya diberitakan, gelombang protes atas rencana kenaikan PPN 12% terus bergulir di media sosial. Meski demikian Menteri Keuangan Sri Mulyani akan tetap menaikkan PPN 12% ini pada 1 Januari 2025 sesuai mandat Undang-Undang (UU).
"Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok," katanya di Gedung DPR RI pada akhir pekan kemarin.
Menurut dia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya.
"Seperti ketika terjadinya krisis keuangan global dan pandemi, itu kami gunakan APBN," ujarnya.