Suara.com - Kondisi ekonomi masyarakat yang lesu, ditandai dengan terjadinya deflasi sejak Mei 2024, rupanya sebabkan politik uang selama pemilu makin sulit diberantas. Kedua hal tersebut saling berkaitan lantaran masyarakat yang sedang kesulitan secara ekonomi menganggap politik uang sebagai 'solusi'.
Pakar hukum Laode M Syarif menyebutkan bahwa kondisi itu terjadi akibat Indonesia sudah terlalu banyak alami krisis secara bersamaan.
"Kita tidak boleh mengalami multi-krisis. Kita sudah krisis demokrasi, krisis anti-korupsi, mau ditambah-in lagi dengan deflasi. Oleh karena itu saya pikir ini harus kita manage," beber Laode kepada Suara.com saat ditemui di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rabu (20/11/2024).
Mantan Wakil Ketua KPK itu mengingatkan kalau Presiden Prabowo Subianto memiliki pekerjaan rumah yang kian banyak. Karena selain harus memperbaiki ekonomi masyarakat, Prabowo juga diharapkan bisa menjadi panglima anti korupsi serta lakukan langkah konkret untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia.
"Presiden itu selalu penting karena itu yang dilihat pertama. Komitmen beliau, tapi tidak perlu hanya pidato. Harus dalam dicontohkan dan dijalankan," ujar Laode.
Menurutnya, praktik politik uang di Indonesia juga makin mengkhawatirkan. Bahkan politik uang dianggap hal wajar, sehingga telah terjadi fenomena masyarakat yang dengan berani meminta uang kepada pejabat yang sedang kampanye bila ingin dipilih.
Laode mengingatkan, agar pemerintah tidak menganggap remeh praktik tersebut. Karena bagaimana pun termasuk juga tindak korupsi.
"Sangat banyak sekarang politik uang. Masyarakat minta-minta, tidak malu-malu lagi untuk minta serangan fajar, untuk minta sedekah dari para politisi itu," pungkasnya.
Potensi politik uang pada Pilkada 2024, sebelumnya juga telah dikatakan oleh Bawaslu, nampak telah menjadi suatu keniscayaan. Pelanggaran politik uang masih bisa terjadi, sebab berkaca data tren putusan tindak pidana pemilihan secara nasional pada tahun 2020 berdasarkan pasal yang dilanggar pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, tercatat ada puluhan kasus drngan berbagai jenis pelanggaran.
Data Bawaslu, pada Pilkada 2020 tercatat ada 22 kasus pelanggaran pasal 187A ayat 1 akibat memberi dan atau menjanjikan uang dan atau materi lainnya.