Suara.com - Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengatakan kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN sebesar 12 persen ada di tangan pemerintah. DPR menyerahkan hal itu kepada pemerintah.
"Kita kembalikan kepada pemerintah karena undang-undang itu sepenuhnya sudah disetujui antara pemerintah dan DPR dan sekarang bola ada di pemerintah," kata Misbakhun ditemui usai hadiri acara diskusi Fraksi Partai Golkar DPR RI bertajuk "Mencari Cara Ekonomi Tumbuh Tinggi" di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Agar tak menjadi kontroversi, ia pun menyarankan agar pemerintah menyiapkan formula untuk sosialisasi terhadap adanya kebijakan tersebut sebelum nantinya diterapkan pada tahun depan.
Di lain sisi, ia menyampaikan tidak semua lini akan terkena kebijakan PPN 12 persen. Misalnya sektor kesehatan dan pendidikan tidak dikenai PPN tersebut.
Baca Juga: Maaf Rakyat! Meski Susah Beli Beras dan Hidup Pas-pasan, Sri Mulyani Tetap Bakal Naikkan PPN 12%
"PPN naik 12 persen itu masih ada sektor-sektor menurut saya yang tidak dikenakan PPN yaitu pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, kebutuhan pokok masyarakat kan tidak dikenakan PPN. Nah ini yang masyarakat harus diberikan penjelasan," ujarnya.
Untuk itu, ia menyerahkan sepenuhnya terkait kebijakan tersebut kepada pemerintah.
"Kami Partai Golkar ingin menyampaikan bahwa wilayah itu sepenuhnya ada di pemerintah. Karena undang-undang itu sudah disetujui," pungkasnya.
Jadi Sorotan
Untuk diketahui, rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 masih menjadi polemik yang disorot publik. Terkini, buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengancam akan melakukan mogok nasional jika pemerintah tetap ngotot menaikkan pajak.
Baca Juga: PPN Naik 12 Persen, Netizen Ramai-ramai Ajak Boikot Pemerintah Lewat Frugal Living
Diperkirakan, aksi mogok kerja ini dilakukan dengan melibatkan 5 juta buruh, sehingga melumpuhkan operasional atau proses produksi hingga dua hari.
Lebih jauh, Presiden KSPI, Said Iqbal, menyatakan bahwa aksi ini direncanakandua hari mulai dari tanggal 19 November hingga 24 Desember 2024, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap memberatkan rakyat kecil dan buruh.
"Kenaikan PPN ini akan langsung berdampak pada harga barang dan jasa yang semakin mahal. Sementara itu, kenaikan upah minimum yang mungkin hanya berkisar antara 1% hingga 3% tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat," ujar Said Iqbal dalam keterangan persnya, yang diterima pada Selasa (19/11/2024).
Ia menyebut, penurunan daya beli masyarakat akan berdampak negatif pada berbagai sektor ekonomi dan menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.
"Kondisi ini juga dapat memperburuk pasar, mengancam keberlangsungan bisnis, dan meningkatkan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor," tambahnya.