Suara.com - Kampanye Pilkada 2024 masih diwarnai dengan aksi politik identitas, terutama yang terjadi di media sosial. Temuan Media Analyst Drone Emprit, politik identitas itu ada yang terang-terangan dilakukan oleh calon kepala daerah, ada pula yang memanfaatkan pihak ketiga yang memanfaatkan media sosial untuk menjangkau khalayak lebih luas dengan biaya yang rendah atau buzzer.
Analis Drone Emprit, Slovenia Mandal, mengungkapkan bahwa para buzzer memang banyak yang sudah terorganisir dan terafiliasi dengan paslon tertentu. Salah satu tugas mereka untuk mengencangkan narasi politik identitas demi menguatkan paslon dukungannya atau menjatuhkan rivalnya.
Slovenia mengatakan, setidaknya ditemukan tiga jenis isi konten para buzzer politik tersebut.
"Jadi jenis kontennya yang biasa disebarkan oleh akun-akun yang memang terafiliasi dengan kelompok politik ini, pertama mereka membangun soal narasi eksklusifitas, ini konten yang memperkuat solidaritas kelompok tertentu. Misalnya narasi kita versus mereka. Atau misalnya kalau dibawa ke ranah agama, atau sara misalnya ada kelompok mayoritas versus minoritas," kata Slovenia dalam diskusi publik Literasi Pemuda Indonesia (LPI) secara virtual, Selasa (18/11/2024).
Baca Juga: Ngaku Bukan Buzzer dan Minta Maaf ke Roy Suryo, Intan Srinata Matikan Kolom Komentar
Isi konten dengan narasi ekslusifitas itu sering digunakan untuk membangun identitas kelompok serta loyalitas dari mereka. Konten kedua terbanyak, beredar pula hoax dan disinformasi.
Slovenia menjelaskan, konten seperti itu biasanya berisi berita palsu atau manipulasi informasi yang sering digunakan untuk menyerang identitas kelompok tertentu atau mengangkat kelompok lainnya. Terakhir, yakni isi konten dengan menggunakan meme dan video provokatif.
"Jadi formatnya video lebih menampilkan potongan-potongan statement salah satu tokoh atau paslon yang memang dipotong di statement yang memprovokasi atau ketika mereka membicarakan isu-isu sensitif, seperti misalnya agama, ras atau suku tertentu," jelasnya.
Drone Emprit mencatat aktivitas politik identitas seperti itu terpotret di Pilgub Jakarta dan Jawa Barat. Di Pilgub Jakarta, lanjut Slovenia, isu politik identitas yang sering dimainkan ialah mengenai kesukuan dari cagub maupun cawagub.
Misalnya, tentang kesukuan Ridwan Kamil yang dikenal sebagai orang Bandung. Serta suku Rana Karno yang diragukan memiliki darah Betawi. Namun, politik identitas lebih ekstrem menurutnya terjadi di Jawa Barat.
"Memang cukup kuat kami pantau itu soal serangan kepada salah satu calon kepala daerah di Jawa Barat yaitu Deddy Mulyadi. Yakni, soal keislaman Deddy Mulyadi," ungkapnya.