Bukan Bikin Aturan Baru untuk Lindungi Guru, Wapres Gibran Justru Ditantang Ini

Kamis, 14 November 2024 | 09:38 WIB
Bukan Bikin Aturan Baru untuk Lindungi Guru, Wapres Gibran Justru Ditantang Ini
Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming melakukan kunjungan ke SDN 1 Langkai, Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada Senin (4/11/2024). Dalam kegiatannya ini, Gibran meninjau pelaksanaan uji coba makan bergizi gratis. (Foto: BPMI Setwapres)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aturan baru tentang perlindungan guru dinilai tidak menjadi solusi untuk menghilangkan kasus kriminalisasi terhadap guru. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengingatkan bahwa Indonesia sebenarnya sudah memiliki aturan tertulis mengenai perlindungan tersebut melalui Undang Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 pasal 39.

Alih-alih bikin aturan baru sebagaimana diminta oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, FSGI mendorong pemerintah berikan pemahaman kepada aparat penegak hukum maupun setiap kepala daerah tentang cara perlindungan terhadap guru dengan merujuk pada UU tersebut.

"Pemahaman seperti ini harus sering disosialisasikan. Bahkan banyak sekali pemerintah, dalam hal ini pejabat publik enggak paham mengenai ini. Sementara kejaksaan tinggi kan levelnya itu provinsi. Kejaksaan negeri levelnya kabupaten. Tentu saja di situ masuk di dalam jajaran Pemda, Pemprov. Tentu saja pemerintah daerah harus memberikan perlindungan," kata Sekjen FSGI, Heru Purnomo saat dihubungi Suara.com, Rabu (13/11/2024).

Berdasarkan aturan UU tersebut, Heru menjelaskan bahwa setiap guru tidak diperkenankan langsung diproses secara hukum ketika dilaporkan pihak tertentu atas dugaan kekerasan kepada siswanya. 

Baca Juga: Disebut Bisa Blunder jika Prabowo Tak Tahu, Analis Politik Curigai Motif Gibran Buka Layanan 'Lapor Mas Wapres'

Supriyani, guru honorer SDN 4 Baito yang dipenjara karena tuduhan palsu. (Suara.com/ANTARA)
Supriyani, guru honorer SDN 4 Baito yang dipenjara karena tuduhan palsu. (Suara.com/ANTARA)

Tindakan yang lebih dulu dilakukan, lanjut Heru, harusnya mengidentifikasi tindak kekerasan yang dilakukan masuk ranah pelanggaran etik profesi guru atau pidana. Apabila perbuatan guru mengarah pada pelanggaran etik, maka penyelesaiannya melalui jalur organisasi profesi.

Guru yang melanggar kode etik tersebut juga harus diberikan sanksi secara organisasi, dalam hal ini Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

"Dengan kondisi seperti itu maka pendekatan itu tidak perlu campur tangan oleh pihak penegak hukum. Ketika kasus itu terkait pelanggaran tindakan yang melanggar hukum, sehingga kena delik aduan hukum maka silakan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku," paparnya.

Heru menyebutkan salah satu kriminalisasi guru yang salah kaprah dalam penanganannya itu terjadi pada kasus Supriyani, guru honorer di SDN 4 Baito, Konawe Selatan.

Menurutnya, fakta hukum pada peristiwa tersebut tidak jelas sehingga harusnya tidak sampai dituntut di pengadilan.

Baca Juga: Senang Gibran Buka Layanan 'Lapor Mas Wapres,' Uceng UGM: Lapor soal Nepotisme Boleh?

Dari kasus Supriyani tersebut, Heru menyampaikan bahwa penerapan UU 14/2005 pasal 39 tentang perlindungan guru belum dilaksanakan oleh semua pihak.

"Karena ini wakil presiden (Gibran) memerintahkan seperti itu, maka perlunya institusi kepolisian atau institusi kejaksaan itu perlu diberikan pemahaman, penjelasan akan perlunya perlindungan guru," ujar Heru.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI