Rekam Jejak Buya Syafii Maarif, Jurnalis yang Jadi Ketum PP Muhammadiyah dan Disebut Layak Jadi Pahlawan Nasional

Riki Chandra Suara.Com
Senin, 11 November 2024 | 13:16 WIB
Rekam Jejak Buya Syafii Maarif, Jurnalis yang Jadi Ketum PP Muhammadiyah dan Disebut Layak Jadi Pahlawan Nasional
Buya Syafii Maarif. (Setneg.go)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mendiang Buya Syafii Maarif merupakan seorang tokoh cendekiawan asal Minangkabau yang dinilai layak menyandang gelar pahlawan nasional atas kontribusinya yang luar biasa bagi bangsa Indonesia.

Penilaian ini disampaikan oleh sejarawan sekaligus guru besar dari Universitas Andalas (Unand), Prof. Gusti Asnan. Dia mengakui peran besar Buya Syafii sebagai sosok "bapak bangsa" bagi banyak kalangan di Indonesia.

Menurut Gusti Asnan, Buya Syafii bukan hanya seorang cendekiawan yang berpengaruh di tingkat nasional, tetapi juga tokoh yang mengharumkan nama Sumatera Barat di ranah keilmuan, agama, dan budaya.

"Buya Syafii Maarif adalah bapak bangsa, dan hampir semua kalangan di Indonesia mengakui dia sebagai bapak bangsa," kata Gusti Asnan, dikutip dari Antara, Senin (11/11/2024).

Tokoh asal Kabupaten Sijunjung ini dianggap memiliki pemikiran-pemikiran progresif yang telah memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan Indonesia.

Buya Syafii diusulkan bersama dua tokoh Minangkabau lainnya, yaitu Khatib Sulaiman dan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli. Keduanya, bersama Buya Syafii, hingga kini belum mendapatkan gelar pahlawan nasional, meskipun mereka dikenal memiliki kontribusi besar dalam perjuangan dan pembangunan bangsa.

Khatib Sulaiman dikenal sebagai pejuang yang gugur dalam Peristiwa Situjuah pada tahun 1949, sedangkan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli adalah ulama besar yang mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) pada tahun 1928 dan berperan penting dalam mempertahankan adat dan agama di Tanah Minangkabau.

Gusti Asnan menjelaskan bahwa penetapan pahlawan nasional memang kerap menimbulkan pro dan kontra. Namun, ia menilai perdebatan ini merupakan hal yang wajar.

"Memang ada perdebatan, dan akan selalu ada karena manusia itu bukan makhluk yang sempurna," ujarnya.
Meski begitu, kontribusi Buya Syafii dan kedua tokoh lainnya dianggap cukup besar untuk diakui sebagai pahlawan nasional.

Sebagai seorang sejarawan, Gusti optimistis bahwa pengakuan pahlawan nasional bagi ketiga tokoh tersebut hanya tinggal menunggu waktu. Meski belum resmi diakui sebagai pahlawan nasional, perjuangan Buya Syafii Maarif dan tokoh-tokoh lainnya akan terus dikenang dan menginspirasi generasi penerus bangsa.

Profil singkat Buya Syafii Maarif

Buya Syafii Maarif yang juga tokoh terkemuka Muhammadiyah, wafat pada Jumat pagi (27/5/2022) di RS PKU Muhammadiyah Gamping. Beliau menghembuskan napas terakhirnya pada usia 86 tahun, setelah beberapa waktu menjalani perawatan akibat keluhan sesak napas yang berkaitan dengan penyakit jantung.

Buya Syafii lahir pada 31 Mei 1935 di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar). Sebagai anak dari Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu dan Fathiyah, Buya mengawali pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) dan belajar agama di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah.

Semasa kecil, Buya sudah menunjukkan ketekunan dan semangat belajar yang tinggi meski harus berjuang di tengah suasana perang revolusi kemerdekaan.

Tahun 1953, Buya Syafii Maarif merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Muallimin Yogyakarta hingga lulus pada 1956. Di Yogyakarta, beliau aktif dalam organisasi kepanduan Hizbul Wathan dan menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar.

Setelah itu, Buya sempat mengajar di Lombok sebelum melanjutkan pendidikannya di Universitas Cokroaminoto, Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP UNY, dan menempuh pendidikan lanjut di Amerika Serikat, termasuk di Universitas Ohio dan Universitas Chicago.

Kariernya di Muhammadiyah mencapai puncak saat Buya Syafii Maarif terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1998 hingga 2005.

Di bawah kepemimpinannya, beliau membawa Muhammadiyah semakin dikenal sebagai organisasi yang moderat dan berpengaruh di Indonesia. Tak hanya itu, Buya juga pernah menjadi Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP), menunjukkan perannya dalam membangun perdamaian lintas agama di tingkat internasional.

Setelah masa kepemimpinannya di Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif terus aktif di berbagai kegiatan sosial dan mendirikan Maarif Institute.

Melalui institut ini, beliau konsisten menyuarakan pemikiran kritis dan objektif demi kemajuan bangsa. Karyanya yang penuh dedikasi mendapat penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina pada tahun 2008, sebuah penghargaan yang kerap disebut sebagai Nobel Asia.

Buya Syafii Maarif dikenang sebagai sosok yang gigih memperjuangkan pemikiran Islam yang moderat dan semangat persatuan bangsa. Buku tentang masa kecilnya yang berjudul "Si Anak Kampung" bahkan telah difilmkan dan berhasil meraih penghargaan di America International Film Festival (AIFF).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI