Suara.com - Ekspedisi Indonesia Baru meluncurkan film dokumenter terbaru "17 Surat Cinta" yang menceritakan tentang perjuangan dalam mempertahankan dan menjaga kelestarian alam di Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil, Aceh.
Film ini digarap bersama dengan sejumlah organisasi lingkungan seperti Greenpeace Indonesia, Auriga Nusantara, Forest Watch Indonesia (FWI), Yayasan HAkA, dan Pusaka Bentala Rakyat.
Film ini mengangkat berbagai permasalahan besar yang terjadi terus menerus di SM Rawa Singkil, mulai dari deforestasi ilegal yang terjadi secara sistematis,
jual beli lahan hutan, hingga ekspansi perkebunan sawit ilegal yang melibatkan berbagai perusahaan besar.
Padahal, SM Rawa Singkil merupakan hutan gambut yang merupakan wilayah konsevasi yang dihuni oleh berbagai hewan langka seperti orangutan, gajah dan harimau.
Baca Juga: Kabar Duka dari Dandhy Laksono, Istri Meninggal di Usia 50 Tahun
Sutradara Film "17 Surat Cinta", Dandhy Laksono mengatakan, SM Rawa Singkil bukan satu-satunya wilayah yang kini sedang dibabat oleh alat-alat berat, melainkan deforestasi juga terjadi dari Sabang hingga Merauke.
Melalui film ini Dandhy mengatakan, nampak adanya kelemahan dari tata kelola pemerintahan terkait wilayah konservatif yang sebetulnya merupakan area yang dilindungi dan harus dilestarikan.
"Film ini membuktikan bahwa sudah ditetapkan sebagai wilayah konservasi tapi ancamannya tetap ada. Rawa Singkil dan Merauke itu duality extreme yang menggambarkan bahwa gede lu ambil, kecil juga lu sikat," kata Dandhy, Sabtu, (9/11/2024).
Dandhy menyebut, melalui film ini dirinya membawa harapan besar adanya perubahan ke arah lebih baik dari kegaduhan yang selama ini melanda sumber daya alam.
Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, mengatakan bahwa melalui film ini terlihat bahwa deforestasi yang terjadi sebagian besar terjadi akibat adanya ekspansi perkebunan sawit ilegal.
"Artinya memang wilayah konservasi meskipun sudah ditetapkan sebagai wilayah konservasi tapi ancamannya tetap serius, karena memang ada kelemahan di tata kelola pemerintahan tadi. Dan apa yang menyebabkan itu sebenarnya adalah komoditas sawit, ini yang mengakibatkan ancaman wilayah konsevasi itu masih nyata," ujarnya.
Direktur Yayasan HAkA Farwiza Farhan menambahkan bahwa film ini mengungkap kenyataan menyedihkan yang dialami masyarakat lokal akibat deforestasi yang di SM Rawa Singkil.
Sebab, deforestasi yang terjadi di wilayah tersebut juga membawa dampak bencana alam yang cukup serius untuk warga lokal dan akhirnya berdampak pada ekonomi mereka.
Di sisi lain, tergambar betapa mudahnya transaksi jual-beli lahan ilegal di kawasan konservasi yang tentunya hanya menguntungkan beberapa pihak dan mengadaikan kesejahteraan masyarakat dan satwa.
"Film ini membuktikan bahwa di kawasan konservasi dengan perlindungan tinggi saja jual-beli tanah ilegal masih terjadi dengan mudah. Apa lagi di kawasan konservasi lain dengan status perlindungan yang lebih rendah?" ujar Farwiza.
Kontributor : Mae Harsa