Sinyal Militerisme dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran, Ancaman bagi Demokrasi Indonesia?

Jum'at, 08 November 2024 | 14:39 WIB
Sinyal Militerisme dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran, Ancaman bagi Demokrasi Indonesia?
Presiden Prabowo Subianto bersama para menteri, wakil menteri, kepala badan/lembaga hingga utusan khusus Presiden menjalani retreat Kabinet Merah Putih di Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, Jumat (25/10/2024). [Handout/Tim Media Prabowo]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Agenda pemerintahan Prabowo-Gibran yang dilakukan di Akademi militer (Akmil) disebut jadi sinyal awal bahwa sistem demokrasi Indonesia perlahan kembali dikuasi militerisme seperti masa orde baru.

Terkait itu, Peneliti senior Imparsial Bhatara Ibnu Reza menyebut sinyal tersebut seolah makin kuat seiring juga munculnya rencana revisi UU TNI.

"Nanti kita akan lihat dari produk kebijakan dan produk undang-undang yang disusun. Kayak misalnya undang-undang TNI, orang udah curiga nih revisi UU TNI akan mengembalikan dwifungsi," kata Bhatara kepada Suara.com, dihubungi Jumat (8/11/2024).

"Itu kan udah kelihatan dengan pemerintahan model begini, ya kita tunggu aja apakah kemudian demokrasi akan mati," katanya menambahkan.

Baca Juga: Tinggalkan Tanah Air, Prabowo Beri Instruksi dan Petunjuk untuk Wapres Gibran dan Kabinet

Bhatara menyebutkan bukan hanya militerisme yang kembali hidup, melainkan cara-cara kerja era orba yang kala itu dipimpiman Presiden Soeharto bisa jadi juga terulang.

Seperti pembatasan kritik terhadap pemerintah hingga pemerintahan yang otoriter.

Dosen Ilmu Hukum di Universitas Trisakti itu menegaskan bahwa sistem demokrasi tidak akan bisa berjalan apabila tidak ada kritik dan pengawasan.

"Militer itu dalam demokrasi harus tunduk pada keputusan demokrasi dalam hal ini, keputusan rakyat. Nah, orang ini memanfaatkan keputusan rakyat untuk kepentingannya, mengembalikan militerisme dan segala macam. Tapi itu bisa jadi pergolakan secara politik," ujarnya.

Presiden RI Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka di Pangkalan TNI AU Halim Perdana Kusuma. (Suara.com/Novian)
Presiden RI Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka di Pangkalan TNI AU Halim Perdana Kusuma. (Suara.com/Novian)

Peristiwa 1998 ketika Soeharto turun sebagai presiden dan orba runtuh, disebut Bhatara termasuk tindakan pergolakan politik tersebut. Pasca itu kemudian Indonesia mencapai titik reformasi hingga sekarang.

Baca Juga: Mulai Lawatan Perdana, Prabowo Mohon Doa Restu Jelang Lepas Landas

Bhatara mengingatkan bahwa cita-cita reformasi kala itu salah satunya untuk menghilangkan dwifungsi militer. Fungsi tentara harus dibatasi cukup sebagai alat pertahanan negara, bukan alat kekuasaan negara atau pemerintah. Akan tetapi, Indonesia terindikasi kembali ke masa dwifungsi dengan gaya militerisme yang perlahan ditunjukan Prabowo maupun Gibran.

"Sekarang kita tunggu lah 100 hari ini mau ngapain? Apakah kemudian pemerintahan ini bisa disebut demokrasi, jika kemudian kritik dibungkam, hukum dikekang, hak asasi manusia dinafikan. Karena ketiga kata itu harus disebut dalam satu nafas dan itu adalah cita-cita reformasi," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI