Suara.com - Wacana untuk mengganti kurikulum Merdeka Belajar semakin santer dibicarakan seiring dengan pergantian Menteri Pendidikan yang saat ini dijabat Abdul Mu'ti.
Kini, Abdul Mu'ti sedang mempertimbangkan dalam menerima tantangan tersebut. Meski banyak desakan untuk mengganti kurikulum Merdeka Belajar, ia mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini tengah mengkaji beberapa aspek dalam sistem pendidikan.
Namun, Mu'ti menyatakan bahwa keputusan baru akan diumumkan pada tahun ajaran mendatang untuk menghindari kekacauan di tengah tahun ajaran.
"Itu masih dikaji. Perubahan apa pun akan kami umumkan di awal tahun ajaran," kata Mu'ti saat ditemui usai rapat di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Selasa (5/11/2024).
Pemerintah juga berencana mengadakan pertemuan dengan Dinas Pendidikan Provinsi seluruh Indonesia terkait pelaksanaan sistem zonasi sekolah.
Sistem zonasi sendiri telah diterapkan secara bertahap sejak 2017 dan menjadi bagian dari upaya pemerintah meningkatkan pemerataan pendidikan.
Kurikulum 2006 dan 2013
Menurut Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Itje Chodijah, kurikulum Merdeka Belajar sebenarnya tidak banyak berbeda dari kurikulum sebelumnya, seperti Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013.
"Sebenarnya kurikulum Merdeka ini tidak mengubah banyak dari kurikulum 2006 atau kurikulum 2013. Yang diatur kembali adalah proses pembelajaran di kelas,” ujar Itje dalam wawancara dengan Suara.com, beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Mendikdasmen Beberkan Program Prioritasnya di DPR, Pelajaran Matematika Akan Diterapkan Sejak TK
Menurutnya, berbagai prinsip dalam kurikulum ini, seperti pengembangan karakter siswa dan pola berpikir kritis, sudah ada sejak lama.
Meski demikian, Itje mengakui bahwa perubahan proses belajar di dalam kelas memang menyulitkan sekolah-sekolah yang masih terbiasa dengan metode konvensional.
"Selama ini sekolah-sekolah di zona nyaman; membawa bahan ajar, mengajar, menguji, dan selesai. Kurikulum Merdeka berusaha memperbaiki ini, namun dampaknya memang membuat sebagian guru dan siswa merasa prosesnya lebih ribet," jelas Itje.
Selain Itje, pengamat pendidikan Darmaningtyas juga mengkritisi kurikulum Merdeka Belajar, terutama soal penggunaan label 'Merdeka' yang dianggap sebagai bentuk politisasi pendidikan.
Menurutnya, kurikulum tidak seharusnya memiliki 'merek,' dan nama generik seperti tahun pembuatannya lebih sesuai.
"Kurikulum itu harus bersifat nasional dan netral. Menamainya Merdeka Belajar seolah membuatnya menjadi milik pribadi pembuat kebijakan,” ungkap Darmaningtyas.
Kritik keras juga datang dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK) yang menyuarakan kritik tajam mengenai Kurikulum Merdeka, terutama terkait dampaknya pada jiwa kompetitif siswa.
Dalam sebuah acara peluncuran buku di Jakarta, JK menyampaikan bahwa penerapan kurikulum ini justru menghilangkan elemen kompetisi yang menurutnya penting untuk mendorong prestasi siswa.
“Kurikulum merdeka itu ndak cocok secara nasional. Bisa dilaksanakan terbatas satu sekolah, dua sekolah,” ujar JK.
Bahkan, ia menyoroti hilangnya sistem peringkat atau ranking yang menurutnya merupakan bagian dari proses yang membantu siswa berjuang mencapai kesuksesan.
"Apalagi hilangkan angka ranking-ranking. Ranking itu bagus untuk menjadi bagian daripada sukses sehingga dia bertarung untuk itu, untuk mendapatkan sukses nomor satu," kata JK.
Ia juga mengingatkan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya berisi penghargaan, tetapi juga hukuman yang mendidik.
"Pendidikan ini reward and punishment, kalau hanya semua reward tidak akan pernah terjadi disiplin," tambahnya.
Sementara di sisi lain, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga menyoroti sisi digitalisasi dalam kurikulum Merdeka Belajar.
Sekjen FSGI, Heru Purnomo, menilai penggunaan teknologi dalam pendidikan tanpa pengawasan ketat bisa menimbulkan masalah, seperti kasus siswa yang semakin mengandalkan internet untuk menyalin jawaban.
"Siswa cepat menyelesaikan tugas, tetapi karena platform digital. Nyatanya, mereka hanya menyalin dari internet tanpa pemahaman mendalam," tutur Heru.
Heru menyebutkan, meskipun digitalisasi penting, perbaikan mendesak dibutuhkan agar generasi muda tidak hanya cerdas teknologi, namun juga memiliki integritas dan keterampilan berpikir kritis.
FSGI bahkan menyatakan pesimis dengan peluang Indonesia mencapai generasi emas pada 2045 jika kualitas pendidikan terus menurun, mengingat skor PISA Indonesia yang masih jauh di bawah rata-rata negara-negara OECD.