Suara.com - Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebutkan bahwa upaya repatriasi artefak bersejarah Indonesia dari luar negeri, sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu.
Belanda telah menandatangani kesepakatan untuk pengembalian artefak tersebut. Namun, negara Inggris belum memberikan persetujuan tersebut sampai saat ini.
"Proses repatriasi ini sudah berlangsung lama. Kita menerima artefak dan benda-benda bersejarah yang dulunya diambil oleh kolonial seperti Belanda, Inggris, Perancis, dan Jepang. Sebagian besar diambil oleh Belanda dan Inggris," kata Fadli Zon saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi X DPR RI, Rabu (6/11/2024).
Salah satu peristiwa bersejarah yang mencerminkan kehilangan besar bagi Indonesia adalah Geger Spey tahun 1812. Peristiwa itu merupakan sejarah saat Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles menjarah Keraton Yogyakarta.
Saat itu, ratusan artefak dan manuskrip penting dibawa ke Inggris dan hingga kini banyak yang masih tersimpan di museum-museum besar seperti British Museum dan British Library.
Menurut Fadli Zon, dalam peristiwa Geger Spey, empat kapal yang mengangkut artefak ke Inggris, dua di antaranya tenggelam dalam perjalanan.
"Dari empat kapal yang membawa artefak itu, dua di antaranya tenggelam. Selebihnya masih tersimpan di British Museum dan British Library, termasuk ratusan manuskrip yang hingga saat ini belum ada yang dikembalikan," jelas Fadli.
Meski Inggris belum memberikan respons positif terkait permintaan repatriasi artefak, pemerintah Indonesia tetap berkomitmen melanjutkan pendataan dan upaya berkelanjutan.
Menurut Fadli Zon, proses pemugaran situs-situs bersejarah di dalam negeri, seperti Muara Jambi dan Sangiran, juga menjadi prioritas pemerintah. Kedua situs ini diyakini sebagai pusat peradaban prasejarah yang berpotensi mengubah pemahaman dunia tentang asal-usul manusia. (antara)