Suara.com - Kandidat presiden dari Partai Republik, Donald Trump baru-baru ini mengumumkan janjinya untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina jika kembali menduduki Gedung Putih. Meskipun banyak yang mendukung pendekatan Trump yang dikenal sebagai "ahli negosiasi," langkah ini memicu kekhawatiran tentang dampak potensial bagi stabilitas keamanan Eropa dan kekuatan posisi Kyiv.
Trump mengklaim dapat segera mencapai kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina, meski ia belum mengungkapkan bagaimana bentuk kesepakatan tersebut atau apa konsekuensi politiknya bagi Kyiv. Selain itu, ia kerap meremehkan dukungan besar Amerika Serikat untuk Ukraina, menyebut Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy sebagai penjual ulung yang berhasil mengamankan miliaran dolar bantuan dari Washington.
Pernyataan Trump berpotensi menimbulkan perubahan besar dalam kebijakan luar negeri AS, khususnya terkait aliansi NATO. Di masa jabatan sebelumnya, Trump pernah mengancam untuk menarik AS dari NATO, meskipun hal ini turut mendorong negara-negara anggota meningkatkan anggaran pertahanan mereka.
Namun, ancaman serupa dalam periode kedua Trump dapat memengaruhi daya tawar NATO, terutama dalam menghadapi ancaman dari Rusia.
Baca Juga: Donald Trump dan Kamala Harris Beradu Ketat dalam Pemilu AS, Hasil Awal Penuh Kejutan
Selain Ukraina, Trump mengisyaratkan kebijakan yang lebih agresif dalam menangani konflik yang berkembang antara Iran dan Israel. Di periode pertamanya, Trump hampir terlibat langsung dalam konflik dengan Iran.
Dengan ketegangan antara Iran dan Israel yang terus meningkat, pendekatan Trump yang lebih keras terhadap Tehran dan upaya mencegah ambisi nuklir Iran diprediksi akan berdampak besar pada kawasan Timur Tengah. Hal ini berpotensi membuka jalan bagi keterlibatan langsung AS dalam serangan terhadap target-target Iran, terutama mengingat hubungan erat antara Trump dan sekutunya di Israel.
Tantangan Keamanan dari China dan Korea Utara
Di luar Timur Tengah dan Eropa, Trump juga dihadapkan pada tantangan jangka panjang dari China dan ancaman yang meningkat dari Korea Utara. Meskipun sebelumnya Trump mencoba untuk menjalin hubungan dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, upayanya tidak berhasil menghentikan program nuklir Korea Utara. Kemenangan Trump berpeluang membawa pendekatan baru yang lebih keras terhadap Korea Utara, terutama dalam menghadapi aktivitas nuklir negara tersebut.
Kemenangan Trump diperkirakan akan memiliki dampak signifikan terhadap aliansi NATO. Selama masa jabatan pertamanya, Trump mengkritik keras sekutu-sekutu Eropa yang dianggapnya terlalu bergantung pada perlindungan militer AS. Retorika ini berhasil membuat anggota NATO meningkatkan pengeluaran militer, namun Trump tetap menyuarakan kekhawatiran akan masa depan aliansi tersebut.
Baca Juga: Trump Unggul di 5 Negara Bagian Kunci, Perebutan Gedung Putih Memanas!
Sementara itu, Kamala Harris, Wakil Presiden AS yang juga mencalonkan diri sebagai presiden dari Partai Demokrat, memiliki pandangan yang bertolak belakang. Harris menekankan pentingnya dukungan terus-menerus bagi Ukraina, yang menurutnya sejalan dengan kepentingan AS dan sekutu Barat.
Kebijakan ini menggemakan dukungan yang solid di antara negara-negara NATO, berbeda dengan pendekatan Trump yang lebih ingin memperbaiki situasi dengan cara yang mungkin lebih pragmatis namun kurang diprediksi.
Kedekatan Trump dengan Presiden Rusia Vladimir Putin menambah lapisan kompleksitas dalam kebijakan luar negerinya. Selama masa jabatan pertamanya, Trump mendapat kritik karena mempercayai pernyataan Putin atas masalah campur tangan Rusia dalam pemilu 2016.
Di sisi lain, kedekatan ini dipandang sebagian pihak sebagai potensi untuk menjembatani hubungan antara AS dan Rusia, meskipun sebagian besar sekutu NATO khawatir hal tersebut justru memperkuat pengaruh Rusia di kawasan Eropa.
Dengan pemilu yang semakin mendekat, kebijakan luar negeri Trump kembali menjadi sorotan, dan janji untuk mengakhiri konflik global akan diuji oleh para pemilih Amerika yang mempertimbangkan pengaruhnya terhadap keamanan dan stabilitas global.