Pengamat Beberkan Kelemahan Konstruksi Hukum Kejagung di Kasus Impor Gula: Penetapan Tom Lembong Tersangka Keliru!

Selasa, 05 November 2024 | 12:49 WIB
Pengamat Beberkan Kelemahan Konstruksi Hukum Kejagung di Kasus Impor Gula: Penetapan Tom Lembong Tersangka Keliru!
Menteri Perdagangan tahun 2015-2016 Thomas Lembong dibawa menuju mobil tahanan di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (29/10/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penetapan tersangka terhadap mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong menuai pro-kontra.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menilai Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai penetapan Tom Lembong sebagai tersangka impor gula adalah keliru.

Hal itu dilihat dari lemahnya Kejagung membangun konstruksi hukum, mulai dari penghitungan kerugian negara hingga Indonesia disebut surplus gula.

Ia memandang tudingan soal surplus gula pada Mei 2015 terhadap Tom Lembong tak masuk akal. Sebab, sejak lama Indonesia terkenal sebagai negara yang doyan mengimpor gula.

Baca Juga: Tak Terima Jadi Tersangka Impor Gula, Tom Lembong Ajukan Praperadilan di PN Jaksel

Kejanggalan lain, lanjut Anthony, Tom Lembong belum menjabat Menteri Perdagangan pada Mei 2015. Tom baru menjabat Menteri Perdagangan pada 12 Agustus 2015 sampai 27 Juli 2016.

"Indonesia ini importir gula sejak lama. Jadi kalau dikatakan surplus itu sudah tidak mungkin apalagi yang katanya Mei ada itu rapat koordinasi mengatakan surplus,” kata Anthony, kepada wartawan, Selasa (5/11/2024).

Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS), lanjut Anthony, tercatat Indonesia sebagai negara impor gula, yang mencapai hingga 3,3 juta ton pada Mei 2015. Sebabnya, penetapan tersangka terhadap Tom Lembong oleh Kejaksaan terkesan pemaksaan.

"Jadi, itu satu adalah tidak mungkin, jadi saya setuju bahwa ini adalah satu pemaksaan yang untuk mentersangkakan Tom Lembong," ucap Anthony.

Menurut Anthony, pemberian izin impor gula kristal mentah tersebut hanya 105.000 ton untuk keperluan industri. Artinya, hanya sekitar 3,1 persen dari total impor gula tahun 2015.

Baca Juga: Thomas Lembong Melawan Balik, Pengacara: Ada Laporan yang Salah

"Jadi, kalau kita lihat sulit sekali untuk mentersangkakan dia dengan 105 ribu ton impor. Cuma satu celah saja yaitu menyalahgunakan wewenang, yaitu tidak surplus, tetapi dia impor,” terang Anthony.

“Kita mesti lihat dan saya yakin kalau nanti itu dibuktikan itu tidak mungkin ada surplus," tambahnya.

Anthony juga menyoroti soal dasar hukum yang digunakan Kejaksaan Agung dalam menjerat Tom Lembong, yaitu Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula.

Dalam peraturan ini disebutkan bahwa tidak memerlukan rapat koordinasi. Pasalnya, saat itu Kementerian Perindustrian dan Perdagangan masih menjadi satu. Ia memandang tak mungkin ada koordinasi.

Di sisi lain, Anthony menyebut ihwal izin yang diberikan kepada swasta, tak menyalahi aturan.

Izin impor yang diberikan Tom Lembong kepada perusahaan swasta yang sudah mempunyai izin impor gula (IP Gula atau API-P) adalah gula kristal mentah, yaitu bahan baku hilirisasi untuk diproses menjadi gula kristal rafinasi dan gula kristal putih.

Dalam Peraturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula memang sudah beberapa kali mengalami pergantian.

Pertama, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/2015 tentang Ketentuan Impor Gula. Lalu, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/2020 tentang Ketentuan Impor Gula.

"Jadi, saya lihat ini ada pemaksaan dan kalau ditanya ini untuk kepentingan politik atau hukum, menurut pendapat saya sangat sarat politik," terang Anthony.

Sementara itu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu menyoroti tiga alasan Tom Lembong sebagai tersangka terkait kebijakan impor gula.

Pertama, impor dilakukan saat gula surplus dan tanpa rapat koordinasi kementerian.

Said Didu mengatakan, disebut surplus tak mungkin, karena impor 2015 dan 2016 bila dijumlahkan hampir 6 juta ton. Sementara yang dipersoalkan hanya 105 ribu ton. Artinya, kata dia, hanya 2,5 persen dari total impor.

"Jadi, tidak masuk akal. Jumlah impor gula di 2015 dan 2016 hampir 6 juta ton. Yang di persoalkan Tom Lembong 105 ribu ton," kata Said Didu.

Said Didu mengatakan, Tom Lembong menjabat Menteri Perdagangan hanya 11 bulan, yakni dari Agustus 2015 sampai Juli 2016.

"Jabatannya sampai dengan Juli 2016, anggaplah setengah dari situ 3,5 juta ton impor gula selama jabatannya Tom Lembong. Artinya, 105 ribu ton artinya tidak melebihi kuota, tidak surplus," tutur Said Didu.

Alasan lain, impor yang seharusnya dilakukan oleh BUMN justru diberikan kepada swasta. Kemudian, negara dinilai mengalami kerugian karena BUMN tidak mendapatkan keuntungan dari impor tersebut.

Karenanya, Said Didu menilai aneh, dasar penetapan tersangka Tom Lembong oleh Kejaksaan Agung.

"Ada sangat aneh menyatakan itu surplus saya ini hampir 7 tahun membahas tentang ini, waktu saya di Sesmen BUMN, kita rapat koordinasi ini hanya menentukan berapa kekurangan selama setahun. Sekaligus membantah jaksa bahwa tidak ada rapat koordinasi," jelas Said Didu.

Said Didu mengatakan rapat koordinasi hanya sekali menetapkan defisit yang harus diimpor oleh Kementerian Perindustrian.

Lalu, berapa rafinasi dan berapa gula konsumsi. Sementara pelaksanaannya, kata dia, tergantung dari Kementerian Perdagangan.

"Jadi, kalau Kejaksaan menyatakan tidak ada rapat koordinasi pasti bohong, karena enggak mungkin ada penetapan kuota kalau tidak ada rapat koordinasi," tambahnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI