Profesor ilmu kehutanan dari Kyoto University, Koji Murata, juga menyampaikan bahwa kayu bisa bertahan lebih baik di luar angkasa karena tidak ada air atau oksigen yang dapat merusak atau membakarnya.
Murata membandingkan penggunaan kayu pada pesawat-pesawat di awal 1900-an dengan potensi satelit kayu saat ini.
“Pesawat dulu juga dibuat dari kayu, jadi seharusnya satelit kayu juga memungkinkan,” ujarnya.
Pengujian satelit kayu ini tidak hanya berfokus pada ketahanan fisik kayu di ruang angkasa, tetapi juga potensi kayu dalam mengurangi dampak radiasi kosmik pada komponen elektronik.
Kayu yang digunakan, honoki—jenis magnolia yang biasa dipakai untuk sarung pedang tradisional Jepang—ternyata paling cocok untuk aplikasi antariksa setelah melalui eksperimen selama sepuluh bulan di ISS. LignoSat pun dibuat menggunakan teknik kerajinan Jepang tanpa paku atau lem, menambah keunikan desainnya.
Selama enam bulan di orbit, LignoSat akan mengumpulkan data terkait ketahanan kayu terhadap suhu ekstrem yang dapat berubah dari -100 hingga 100 derajat Celsius setiap 45 menit ketika melintasi area gelap dan terang.
Selain itu, LignoSat akan memantau efektivitas kayu dalam mengurangi paparan radiasi kosmik pada semikonduktor. Menurut Kenji Kariya, manajer di Sumitomo Forestry Tsukuba Research Institute, ini bisa menjadi keuntungan dalam pembangunan pusat data yang tahan radiasi.
“Meski terkesan kuno, kayu sebenarnya adalah teknologi terdepan seiring peradaban menuju Bulan dan Mars,” kata Kariya.
Ia pun optimis bahwa keberhasilan LignoSat dapat membuka peluang baru bagi industri kayu, terutama dalam mendukung ekspansi manusia ke ruang angkasa.
Baca Juga: Hit 80-an 'Apateu' Yoon Soo-il Kembali Populer, Terima Kasih Rose BLACKPINK dan Bruno Mars!
Melalui inovasi ini, Jepang menunjukkan bahwa material ramah lingkungan seperti kayu memiliki peran besar dalam eksplorasi masa depan, sekaligus menawarkan pendekatan yang lebih lestari dalam menaklukkan antariksa.