Suara.com - Pemilu Amerika Serikat untuk menentukan Presiden AS tinggal menghitung jam, lantaran akan dilaksanakan pada 5 November 2024 (Besok).
Ada dua calon presiden AS, pertama dari Partai Demokrat yakni Kamala Harris kemudian dari Partai Republik Donald Trump, keduanya disebut-sebut memiliki keunggulan masing-masing.
Jadi siapa Presiden AS mendatang?
Dilansir dari NDTV, ada sejumlah momen tak disangka di Pilpres AS 2024 hingga hasil survei sendiri menyebutkan bahwa Kamala Harris dan Donald Trump terpaut selisih yang sangat tipis pada jejak pendapat.
Baca Juga: Kamala Harris dan Donald Trump Janji Akhiri Konflik Israel-Palestina Jika Terpilih Jadi Presiden AS
Para pemilih di AS akan memilih pemimpin perempuan, kulit hitam, dan Asia pertama mereka atau menunjuk kembali seorang kepala eksekutif yang ingin kembali ke Gedung Putih yang ditinggalkannya dengan rasa malu hampir empat tahun yang lalu.
Itulah pemerannya, lalu pertimbangkan latar belakangnya. Siklus ini dimulai di negara yang masih belum pulih dari pandemi Covid-19 yang terjadi sekali dalam satu abad, ketika orang Amerika memilih Joe Biden sebagai presiden tertua dalam sejarah AS, dan para pendukung Trump menyerang Capitol untuk mencoba membalikkan kekalahannya.
Sejak saat itu, krisis ini mencakup pecahnya perang besar di Eropa dan Timur Tengah, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa Amerika Serikat akan ikut terseret ke dalamnya; lonjakan inflasi yang belum pernah dialami oleh warga Amerika berusia di bawah 40 tahun; dan pembatalan hak aborsi federal oleh Mahkamah Agung.
Dan itu pun hanyalah sebagian dari drama dan kekacauan yang dialami Amerika selama kampanye pemilu 2024 itu sendiri.
Momen tak disangka juga yakni saat Partai Demokrat menyingkirkan presiden petahana Biden dan memilih wakilnya Wakil Presiden Harris tanpa berkonsultasi dengan pemilih mereka.
Baca Juga: Yakin Menang Lawan Kamala Harris, Donald Trump: Saya Punya Keunggulan Cukup Besar
Kandidat Partai Republik, Trump, berhasil melewati pemilihan pendahuluan, kadang-kadang berkampanye dari ruang sidang New York di mana ia akhirnya dihukum karena membayar uang tutup mulut kepada seorang bintang film dewasa – dan kemudian ditembak dan dilukai pada sebuah rapat umum.
Tidak mengherankan jika banyak orang Amerika, mulai dari pemilih pemula hingga orang-orang berpengalaman di dunia pendanaan kampanye, masih berusaha untuk mengambil sikap.
Gideon Stein – seorang pengusaha, dermawan dan donor utama Partai Demokrat – paham betul tentang titik balik ini. “Debatnya tanggal 27 Juni,” ujarnya. “Bagiku itu yang paling gila.”
Saat itu, Biden masih berusaha untuk terpilih kembali tetapi kesulitan untuk membangkitkan antusiasme yang besar. Karena dirundung pertanyaan mengenai kesesuaiannya untuk masa jabatan berikutnya, ia mengusulkan debat awal melawan Trump pada bulan Juni. Mengatakan bahwa strategi tersebut menjadi bumerang adalah sebuah pernyataan yang meremehkan. Begitu tersendat-sendat dan tidak koherennya kinerja sang presiden sehingga ia tidak bisa lagi menahan bendungan kecemasan yang ada pada usianya.
“Itulah sebabnya saya bertunangan dan menggunakan suara saya sebagai donor,” kata Stein, salah satu kelompok penyandang dana utama Partai Demokrat yang menjelaskan kepada partainya bahwa mereka akan menahan sumbangan sampai Biden digantikan dalam pemungutan suara. “Kami akan terus berinvestasi pada pemilu, namun tidak akan berinvestasi pada presiden karena semua yang kami lihat adalah dia akan kalah.”
Biden mengakhiri kampanye pemilihannya kembali dan mendukung Harris sebagai penggantinya. Melihat ke belakang, Stein mengatakan ini adalah langkah yang tepat: Partai Demokrat memiliki peluang yang jauh lebih baik untuk mempertahankan Gedung Putih dengan wakil presiden sebagai kandidat utama. Dia menepati janjinya kepada partai tersebut untuk menyumbangkan $3,5 juta, dan mencairkan sebagian darinya selama seminggu terakhir.
Kamala Harris dan Donald Trump Janji Akhiri Konflik Israel-Palestina
Dua calon Presiden Amerika Serikat (AS) Kamala Harris dan Donald Trump mengumbar janji akan mengakhiri konflik Israel-Palestina jika terpilih menjadi presiden pada Pemilu 2024.
Kedua capres AS dari Partai Demokrat dan Republik itu menjamin, jika terpilih menjadi presiden akan melakukan segera mungkin perang Israel di Jalur Gaza berakhir.
Baru-baru ini pernyataan itu diungkapkan Harris dua hari sebelum pelaksanaan Pemilu AS yang jatuh pada 5 November 2024 besok.
"Tahun ini (terasa) sulit, mengingat besarnya korban jiwa dan kehancuran di Gaza serta korban sipil dan pengungsian di Lebanon," kata Harris.
"Ini sangat menghancurkan, dan sebagai presiden, saya akan melakukan segala yang saya bisa untuk mengakhiri perang di Gaza, membawa pulang para sandera, mengakhiri penderitaan di Gaza, memastikan keamanan Israel, serta menjamin hak rakyat Palestina untuk bermartabat, merdeka, aman, dan memiliki penentuan nasib sendiri," katanya disambut tepuk tangan meriah dalam sebuah kampanye di negara bagian Michigan, yang merupakan medan pertempuran penting dalam Pilpres AS.