Suara.com - Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, yang ditangkap Kejaksaan Agung RI terkait kasus suap penanganan perkara kasasi Gregorius Ronald Tannur diduga memiliki jaringan yang kuat.
Selain melibatkan hakim dan pengacara, jaringan mafia peradilan ini diduga turut melibatkan pegawai MA.
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman menilai perlu keseriusan dari aparat penegak hukum untuk mengungkap tuntas jaringan mafia peradilan Zarof.
"Bisa dibayangkan total nilai uang makelar kasusnya itu berapa triliun kalau Zarof Ricar saja bisa mengumpulkan uang hampir sekitar 1 triliun. Ini harus dibongkar secara utuh," kata Zaenur kepada Suara.com Kamis (31/10/2024).
Kasus suap di institusi peradilan, kata Zaenur, telah terjadi sejak dulu dan mendarah daging. Kondisi ini semakin diperparah karena tidak ada keseriusan negara untuk melakukan reformasi penegakan hukum.
Alih-alih melakukan reformasi penegakan hukum, pemerintah di 10 tahun terakhir dinilai Zaenur justru menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan dan alat politik.
"Sehingga sampai sekarang itu masih lestari budaya atau kebiasaan korupsi dalam bentuk jual beli perkara," ungkapnya.
Berdasar data Indonesia Corruption Watch atau ICW sepanjang tahun 2011-2023 terdapat 26 hakim yang ditangkap terkait kasus suap. Nilai suapnya total mencapai Rp107 miliar.
"Ini harusnya jadi momentum reformasi penegakan hukum secara mendasar. Ini tidak boleh hanya berlalu begitu saja tanpa ada perbaikan terhadap sistem," ujar Zaenur.
Baca Juga: Aset Terblokir, Kejagung Masih Sisir Kekayaan Tersembunyi Zarof Ricar
Selain mendesak Kejaksaan Agung RI mengungkap tuntas kasus mafia peradilan, Zaenur menilai Komisi Yudisial (KY) dan MA juga harus memperbaiki sistem pengawasan. Kemudian juga harus meningkat pembinaan terhadap hakim. Sanksi-sanksi tegas harus dijatuhkan kepada kepala pengadilan di tingkat pertama, tinggi, hingga MA apabila ada anggotanya yang terlibat suap.