Suara.com - Relawan Pro Joko Widodo atau Projo disarankan ganti nama bila memang berniat berganti jadi partai politik. Tidak menggunakan nama Projo sebagai parpol dinilai tepat karena dengan begitu nampak tak menokohkan satu sosok saja yakni Jokowi.
Pengamat politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan, Projo bisa jadi tidak nampak menarik bila menjadikan Jokowi sebagai tokoh sentralnya. Karena dengan begitu tak ada bedanya dengan partai politik yang sudah ada dan telah besar.
"Projo ini kalau jadi partai men-sounding kepada publik bahwa internal partai tidak ada tokoh sentral, termasuk Pak Jokowi sendiri. Kalau ada toko sentral sama saja dengan misalnya katakanlah partai-partai lain. Sementara di sana itu sudah partai yang lama berpengalaman dan punya jaringan di bawah," kata Emrus saat dihubungi Suara.com, Jumat (1/11/2024).
Dia tak masalah bila Jokowi sendiri bergabung dengan partai bentukan Projo atau bahkan menjadi ketua umumnya. Namun, menurut Emrus, sebaiknya tidak menjadikan satu sosok tunggal sebagai representatif partai.
"Jangan lagi ditokohkan ke Jokowi, harus mereka berdiri sendiri, lepas dari situ. Tapi Jokowi masuk ke dalam, boleh. Posisikan saja sebagai apa. Walaupun ketua, silahkan saja, ketua partai. Tetapi jangan jadi sekali-sekali menjadi tokoh sentral," ujarnya.
Sebagai partai politik, Projo juga harus menyiapkan ideologi serta visi misinya sendiri. Hal itu agar cepat mendapat atensi publik, Emrus menyarankan mengusung program perjuangan politik yang jauh berbeda. Misalnya, partai yang orientasi terhadap kemandirian negara serta pemberantasan korupsi.
"Jadi saya menyarankan jangan namanya pro-Jokowi. Buat saja Partai Antikorupsi dan Pembangunan Pertanian di Desa-Desa. Apapun namanya, disebut itu disingkat saja apa nanti namanya," katanya.