Namun, Mahkamah Agung Israel pada Juni lalu memerintahkan agar siswa seminari (yeshiva) ultra-ortodoks juga menjalani wajib militer, dengan alasan bahwa pengecualian ini memerlukan kerangka hukum yang memadai. Partai-partai politik ultra-ortodoks dalam koalisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu segera mendesak adanya landasan hukum yang memungkinkan pengecualian bagi komunitas mereka.
Pemimpin partai Shas, Aryeh Deri, menyatakan harapannya agar masalah wajib militer ini dapat diselesaikan sebelum pengesahan anggaran di akhir tahun.
Seruan untuk Mengurangi Beban Tentara
Di sisi lain, sekitar 2.000 istri tentara cadangan dari gerakan Zionis religius menandatangani surat terbuka yang meminta pemerintah untuk mengurangi beban bagi mereka yang melayani. Tehila Elitzur, akademisi dan istri seorang tentara cadangan, menyampaikan pandangannya kepada Yediot Aharonot bahwa “studi agama dan layanan militer dapat berjalan beriringan.”

Bahkan, sejumlah orang yang memenuhi syarat pengecualian memilih tetap bertugas, dan enam dari mereka gugur dalam pertempuran antara 22 hingga 28 Oktober lalu. David Zenou, seorang rabi berusia 52 tahun yang telah bertugas selama 250 hari tahun ini termasuk di Lebanon, menegaskan, “Ini adalah kehormatan untuk melayani negara saya, dan saya akan melanjutkannya selama saya mampu. Jangan lupa, ini adalah perang dan kami kekurangan tentara.”
Ketegangan dan pengorbanan yang dirasakan tentara cadangan Israel kini telah menjadi bagian nyata dari dampak perang yang berkepanjangan ini, yang turut memengaruhi kehidupan pribadi dan keluarga mereka di tengah seruan untuk mengakhiri konflik yang terus merenggut banyak korban.