Suara.com - Angka stunting di Kota Yogyakarta masih tinggi, yakni 1.089 anak per Agustus 2024. Temuan di lapangan menunjukkan kasus anemia hingga paparan asap rokok jadi penyebab tingginya angka stunting. Berbagai program lintas sektor sudah digerakkan, akankah anak-anak Yogyakarta bisa terbebas dari ancaman stunting?
Sinar matahari menyapa Ken, bukan nama sebenarnya, yang duduk di depan taman bermain Rumah Pemulihan Gizi (RPG) Kota Yogyakarta dengan hangat. Di hadapannya ada dua anak balita (bayi usia lima tahun) tampak asyik bermain seluncuran dan ayunan, tetapi hal itu tidak menarik perhatian Ken sama sekali. Anak berusia 19 bulan itu tetap duduk dengan tenang sambil memegang setusuk satai ayam. Sesekali ia menyesap bumbu kacang yang melumuri daging satai tanpa memakan dagingnya.
Puas menyesap bumbu kacang, Ken memberikan satai ayam di tangannya kepada sang ibu. Ia lalu turun dari kursi kayu panjang, berdiri mematung sambil memandangi anak-anak yang sedang bermain. Tulang selangkanya terlihat menonjol di antara kaos hitam kebesaran yang dikenakannya. Kulitnya begitu tipis sampai memperlihatkan susunan tulang tangan dan kakinya dengan jelas. Sesekali Ken menggaruk kepalanya yang ditumbuhi rambut tipis berwarna keemasan seperti rambut jagung.
“Dia memang pilih-pilih makanan. Makanya susah banget naikin berat badannya,” ujar ibu Ken saat berbincang dengan Suara.com, Jumat (25/10/2024).
Ken merupakan salah satu pasien anak di RPG Kota Yogyakarta. RPG adalah tempat rujukan untuk anak usia di bawah lima tahun yang memiliki status gizi buruk. Sebulan yang lalu, ibu Ken mendaftarkan putra tunggalnya untuk mendapatkan vaksin Japanese Encephalitis (JE) di Puskesmas Danurejan I. Saat dilakukan penimbangan dan pengukuran tinggi badan, Ken hanya memiliki berat badan 7,9 kilogram dan tinggi 80 cm diusianya 18 bulan. Padahal menurut World Health Organization (WHO), anak seusia Ken seharusnya memiliki berat rata-rata 10 kilogram dengan tinggi 83 cm.
Setelah mendapatkan vaksin JE, Ken menjalani serangkaian pemeriksaan mulai dari cek urine, darah hingga konsultasi gizi. Dari hasil pemeriksaan, petugas Puskesmas memberikan diagnosa gizi buruk kepada Ken dan merujuknya ke RPG Kota Yogyakarta untuk mendapatkan pemantauan khusus dari tim ahli.
“Sudah dua minggu dipantau dokter RPG, alhamdulillah sudah naik 1 ons jadi 8 kilogram sekarang,” kata ibu Ken.
Ibu Ken bercerita, sebelum merantau ke Kota Yogyakarta mengikuti suami, ia dan anaknya tinggal di kampung halamannya di Lamongan, Jawa Timur. Ken tumbuh di lingkungan penuh paparan asap rokok, kakeknya perokok aktif dan sering merokok di dekat Ken. Sejak lahir Ken sudah empat kali dirawat intensif di rumah sakit dengan berbagai masalah kesehatan, mulai dari kadar trombosit rendah, anemia sampai bronkitis. Berbagai gangguan kesehatan itu membuat Ken kehilangan nafsu makan sehingga sulit menaikkan berat badan sesuai usianya. Ken rutin mendatangi Posyandu setiap bulan, tetapi petugas Posyandu di kampungnya menyebut Ken sehat dan tidak didiagnosa gizi kurang.
Sebagai ibu muda berusia 26 tahun, ibu Ken sudah mencoba berbagai macam cara mengolah Makanan Pendamping ASI (MPASI) seperti para influencer di Instagram ataupun TikTok agar lebih menarik, tetapi Ken tetap menolak makan. Ibu Ken juga sudah melakukan safari ke beberapa dokter spesialis anak di beberapa rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatan anaknya. Berbagai vitamin penambah nafsu makan telah dicobanya, tetapi tidak ada satupun yang memberikan efek baik untuk Ken. Barulah di Yogyakarta Ken mendapatkan penanganan intensif.
Setelah mendapatkan penanganan di RPG, Ken harus datang setiap Selasa dan Jumat untuk dievaluasi tumbuh kembangnya. Selain pemeriksaan Ken, sang ibu juga mendapatkan edukasi dari dokter spesialis anak RSUP Sardjito dan RSUD Kota Yogyakarta, mendapat PKMK (Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus) berupa susu untuk diminum Ken di rumah, Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan uang transportasi sebesar Rp28.500 setiap kali kedatangan.