Ketika Arnold Mononutu berusia dua tahun, ayahnya ditugaskan ke Gorontalo. Empat adiknya lahir di Gorontalo, tetapi sayangnya keempatnya meninggal saat baru berusia lima dan enam bulan.
Pada tahun 1903, Om No mengikuti sekolah dasar bahasa Belanda (Europeesche Lagere School, ELS) di Gorontalo. Ia melanjutkan studinya di tingkat sekolah yang sama di Manado setelah ayahnya dipindahtugaskan ke Manado.
Pada tahun 1920, ia berangkat ke Eropa untuk memulai studinya di Belanda. Pada awalnya, dia belajar di beberapa kursus persiapan masuk kuliah.
Setelah memiliki sertifikat kursus, dia memutuskan untuk mendaftar di Akademi Hukum Internasional Den Haag (Académie de droit international de La Haye di Den Haag). Sebetulnya pada awal-awal kuliah di Universitas tersebut, sikap dan jiwa nasionalismenya belum bertumbuh baik.
Namun, setelah menghadiri berbagai rapat Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging) di Belanda, rasa nasionalisme untuk Indonesia mulai bertumbuh dalam dirinya. Bahkan kemudian dia menjadi sangat terikat dan terlibat dalam organisasi tersebut.
Tidak mengherankan jika kemudian dia terpilih sebagai wakil ketua pada periode yang sama di mana Mohammad Hatta terpilih sebagai bendahara.
Akhirnya, pada bulan September 1927 dia berhasil pulang ke Indonesia. Pengalaman hidup di negeri orang tanpa biaya gara-gara dihambat pemerintah kolonial, justru semakin menumbuhkan jiwa patriotisme dan nasionalisme.
Om No makin bersemangat terlibat dalam kegiatan politik melawan pemerintah kolonial. Dia kemudian menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang baru dibentuk waktu itu. Melalui partai itulah untuk pertama kali dia bertemu dengan pendiri partai yakni Ir. Soekarno.
Selama beraktivitas di Jakarta, ia menyewa sebuah kamar di rumah yang sama dengan Suwirjo dan Sugondo Djojopuspito yang.
Baca Juga: Ikut Peringati Sumpah Pemuda, Manchester United: Yang Muda yang Membara!
Kedua orang itu adalah pemimpin Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia. Organisasi ini adalah bagian dari Kongres Pemuda Indonesia Kedua pada tahun 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda.