Suara.com - Sumpah Pemuda diperingati setiap tanggal 28 Oktober setiap tahunnya. Momen ini jadi kebangkitan dan persatuan pemuda-pemudi di tanah air.
Sumpah ini berisi janji satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Ikrar diucapkan oleh para pemuda dan pemudi dari berbagai daerah di Indonesia yang berkumpul untuk mengadakan kongres kedua pada tahun 1928.
Sebelumnya, para pemuda dari Sumatera, Jawa, Ambon, Batak, Sulawesi dan Betawi menggelar pertemuan pada tahun 1926. Dua tahun setelahnya, tepat pada 28 Oktober 1928, mereka berkongres kedua kali.
Kongres kedua ini melahirkan keputusan yang kemudian disebut sumpah pemuda. Kongres diselenggarakan di tiga lokasi berbeda di Jakarta, yaitu gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Oost Java Bioscoop, dan Indonesische Clubgebouw. Tujuannya untuk menyatukan para pemuda untuk membahas perjuangan kemerdekaan.
Baca Juga: Ikut Peringati Sumpah Pemuda, Manchester United: Yang Muda yang Membara!
Ada sekitar 750 pemuda yang hadir, tapi yang tercatat hanya 75 orang. Salah satu yang hadir adalah Arnold Mononutu.
Arnold tergabung dalam Jong Celebes, salah satu organisasi yang berpartisipasi dalam pertemuan bersejarah yang menjadi tonggak awal kesadaran para pemuda tentang persatuan nasional.
Ia dan pemuda lainnya dari Sulawesi: Tom Kandou, Magdalena Mokoginta, Sam Ratulangi, Rumondor C.L. Senduk, Magdalena Waworuntu yang tersebar di berbagai wilayah Sulawesi berperan aktif dalam pergerakan pemuda jelang kemerdekaan.
Dilansir dari Arsip Museum Sumpah Pemuda, Arnold Mononutu atau akrab disebut Om No lahir di Manado pada tanggal 4 Desember 1896.
Ayahnya bernama Karel Charles Wilson Mononutu seorang pegawai negeri sipil Hindia Belanda dan ibunya, Agustina van der Slot.
Baca Juga: Inspirasi dari Daniel Mananta, Rayakan Hari Sumpah Pemuda dengan Jadi Relawan!
Kakeknya yang juga bernama Arnold Mononutu adalah orang Minahasa pertama yang menyelesaikan studi di sekolah untuk pelatihan dokter pribumi atau School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, STOVIA di Batavia.
Ketika Arnold Mononutu berusia dua tahun, ayahnya ditugaskan ke Gorontalo. Empat adiknya lahir di Gorontalo, tetapi sayangnya keempatnya meninggal saat baru berusia lima dan enam bulan.
Pada tahun 1903, Om No mengikuti sekolah dasar bahasa Belanda (Europeesche Lagere School, ELS) di Gorontalo. Ia melanjutkan studinya di tingkat sekolah yang sama di Manado setelah ayahnya dipindahtugaskan ke Manado.
Pada tahun 1920, ia berangkat ke Eropa untuk memulai studinya di Belanda. Pada awalnya, dia belajar di beberapa kursus persiapan masuk kuliah.
Setelah memiliki sertifikat kursus, dia memutuskan untuk mendaftar di Akademi Hukum Internasional Den Haag (Académie de droit international de La Haye di Den Haag). Sebetulnya pada awal-awal kuliah di Universitas tersebut, sikap dan jiwa nasionalismenya belum bertumbuh baik.
Namun, setelah menghadiri berbagai rapat Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging) di Belanda, rasa nasionalisme untuk Indonesia mulai bertumbuh dalam dirinya. Bahkan kemudian dia menjadi sangat terikat dan terlibat dalam organisasi tersebut.
Tidak mengherankan jika kemudian dia terpilih sebagai wakil ketua pada periode yang sama di mana Mohammad Hatta terpilih sebagai bendahara.
Akhirnya, pada bulan September 1927 dia berhasil pulang ke Indonesia. Pengalaman hidup di negeri orang tanpa biaya gara-gara dihambat pemerintah kolonial, justru semakin menumbuhkan jiwa patriotisme dan nasionalisme.
Om No makin bersemangat terlibat dalam kegiatan politik melawan pemerintah kolonial. Dia kemudian menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang baru dibentuk waktu itu. Melalui partai itulah untuk pertama kali dia bertemu dengan pendiri partai yakni Ir. Soekarno.
Selama beraktivitas di Jakarta, ia menyewa sebuah kamar di rumah yang sama dengan Suwirjo dan Sugondo Djojopuspito yang.
Kedua orang itu adalah pemimpin Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia. Organisasi ini adalah bagian dari Kongres Pemuda Indonesia Kedua pada tahun 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda.
Bergaul dengan kedua orang itu, menambah wawasan dan pandangannya tentang perjuangan kemerdekaan bangsanya. Dia kemudian menjadi aktivis Jong Minahasa (1919-1920) dan Jong Celebes (1927).
Pada mulanya, Om No bekerja untuk sebuah perusahaan eksplorasi minyak Jepang bernama Mitsui Bussan Kaisha, tetapi kemudian memutuskan untuk bekerja di Perguruan Rakyat yang baru didirikan, walaupun dengan gaji yang lebih rendah.
Ia mengelola dan mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Perguruan Rakyat bersama dengan Mohammad Yamin dan Gunawan Mangunkusumo.
Sekolah-sekolah tersebut memiliki total sekitar 300 siswa yang terdaftar. Namun, pada tahun 1930, Mononutu harus meninggalkan Perguruan Rakyat dan kembali ke Manado karena merawat ibunya yang sakit.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Belanda berupaya membentuk sebuah negara federasi yang terpisah dari Republik Indonesia. Maka dibentuklah Negara Indonesia Timur (NIT) pada tahun 1946.
Arnold tidak berdiam diri. Ia berjuang bersama rakyat Indonesia Timur dan tetap memilih bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947, Arnold mendirikan Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Organisasi ini berusaha menyoroti tindakan Belanda yang berupaya untuk kembali menjajah Indonesia.
Bersama beberapa teman, dia kemudian mendirikan organisasi politik yang dikenal dengan nama Persatuan Indonesia.
Bersamaan dengan itu, diterbitkan sebuah koran bernama Menara Merdeka, yang bertujuan untuk mempromosikan cita-cita Persatuan Indonesia.
Koran ini memberikan pesan-pesan pro-republik dan mengkritik upaya-upaya Belanda untuk membentuk sebuah negara yang terpisah dari Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan.
Perjuangan Arnold Mononutu untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bebas dari agresi dan intimidasi Belanda begitu kuat dan nyata. Dia kemudian diangkat dan ditunjuk memegang beberapa jabatan strategis NKRI.
Pada bulan Desember 1949–1950, pria bernama lengkap Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu menjadi Menteri Penerangan Kabinet RIS.
Pada tahun 1951-1952 menjadi Menteri Penerangan Kabinet Sukiman-Suwirjo, dilanjutkan tahun 1952-1953 sebagai Menteri Penerangan pada Kabinet Wilopo.
Salah satu perjuangan Arnold yang tidak banyak diketahui orang adalah nama ibukota Republik Indonesia. Nama Batavia dipakai sekitar tahun 1621 sampai tahun 1942, ketika Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang.
Pada masa kepemimpinan Jepang, nama kota diubah menjadi Jakarta. Perubahan nama itu dilakukan sebagai bagian dari de-Nederlandisasi.
Nama Jakarta pun kian popular, walaupun belum ditetapkan secara resmi. Pengukuhan nama Jakarta baru dilakukan pada 30 Desember 1949 oleh Arnold Mononutu sebagai Menteri Penerangan saat itu.
Pengukuhan nama Jakarta dilakukan Arnold Mononutu itu sesudah berlangsungnya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Lalu pada tahun 1960, Presiden Soekarno menunjuk Arnold Mononutu jadi Rektor ke-3 Universitas Hasanuddin dengan gelar Profesor atau Guru Besar.
Dalam lima tahun jabatannya sebagai rektor, jumlah mahasiswa bertumbuh dari 4.000 menjadi 8.000 mahasiswa.
Pada awal jabatannya, universitas ini hanya memiliki tiga fakultas yaitu Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, dan Fakultas Kedokteran.
Selama masa jabatannya, enam fakultas baru didirikan yakni Fakultas Ilmu Pasti dan Alam, Fakultas Pertanian, Fakultas Peternakan, Fakultas Sastra, Fakultas Sosial Politik, dan Fakultas Teknik.
Dengan demikian, dalam kepemimpinannya pada universitas terkemuka di Indonesia Timur itu, semakin banyak anak bangsa yang dididik menjadi generasi penerus perjuangan bangsa Indonesia dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kini, 93 tahun setelah sumpah pemuda, semangat Om No dan Sumpah Pemuda itu masih dibutuhkan Indonesia. Masih banyak masalah yang dihadapi generasi muda kita seperti pengangguran dan kemiskinan.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing