Suara.com - Dalam sebuah pernyataan yang menegaskan posisi Rusia di panggung internasional, Presiden Vladimir Putin mengatakan bahwa masa depan hubungan Rusia dengan Amerika Serikat setelah pemilihan presiden mendatang akan sangat bergantung pada sikap yang diambil Washington.
Ia menyambut positif pernyataan Donald Trump yang menginginkan akhir konflik Ukraina, dengan menyebutnya sebagai ungkapan yang tulus.
Berbicara di akhir KTT BRICS di Kazan, Putin menekankan bahwa harapan untuk mencapai perdamaian tidak seharusnya dipandang sebagai kelemahan. Ia memperingatkan negara-negara Barat bahwa menganggap Rusia dapat dikalahkan di medan perang adalah sebuah ilusi.
Setiap kesepakatan perdamaian yang dibahas, tegasnya, harus mengakui kendali Rusia atas wilayah-wilayah Ukraina yang kini berada di bawah penguasaan mereka.
Baca Juga: Jepang Ketar-Ketir! Ribuan Pasukan Korut Pergi ke Rusia, Bakal Ancam Keamanan Asia Timur?
“Masa depan hubungan Rusia-Amerika pasca pemilihan akan sangat tergantung pada Amerika Serikat. Jika mereka terbuka, maka kami juga akan terbuka. Namun, jika mereka tidak menginginkannya, ya sudah,” ungkap Putin kepada awak media.
Hubungan antara kedua negara superpower ini berada pada titik terendah sejak Perang Dingin, tergerus oleh ofensif militer Rusia di Ukraina. Pemilihan presiden AS yang dijadwalkan bulan depan dipandang sebagai momen krusial yang dapat mempengaruhi arah hubungan tersebut dan perkembangan konflik di Ukraina.
Calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump, telah beberapa kali menyuarakan keraguan terhadap bantuan miliaran dolar dari Washington untuk Ukraina, mengklaim bahwa jika terpilih, ia bisa mengakhiri pertikaian dalam waktu singkat.
“Trump menyatakan keinginannya untuk mengakhiri konflik di Ukraina. Saya pikir ia tulus. Tentu saja, kami menyambut pernyataan semacam ini, siapapun yang mengucapkannya,” lanjut Putin.
Dalam pertemuan tersebut, sejumlah pemimpin dunia, termasuk Presiden China Xi Jinping dan Perdana Menteri India Narendra Modi, menggarisbawahi pentingnya mencari solusi untuk mengakhiri konflik. Putin menegaskan bahwa Rusia bersedia mempertimbangkan inisiatif perdamaian, asalkan mempertimbangkan realitas di lapangan yang mencakup wilayah yang saat ini dikuasai oleh pasukan Rusia.
Kekhawatiran terhadap eskalasi konflik semakin meningkat, terutama setelah adanya laporan mengenai keterlibatan tentara Korea Utara di Rusia. Meski Putin enggan mengonfirmasi laporan tersebut, ia menyalahkan Ukraina dan Barat atas meningkatnya ketegangan.
Dalam konteks yang lebih luas, Putin juga mengadakan pertemuan dengan Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, di mana Guterres menekankan bahwa invasi Rusia ke Ukraina adalah pelanggaran terhadap Piagam PBB dan hukum internasional. Guterres mengulangi komitmennya untuk memastikan kebebasan navigasi di Laut Hitam, yang sangat penting bagi keamanan pangan dan energi global.
Menyusul pertemuan ini, berbagai pemimpin dunia di KTT BRICS juga menyerukan penghentian konflik di Gaza dan Lebanon, dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas menuduh Israel berusaha untuk membiarkan warga Gaza kelaparan. Xi Jinping memperingatkan tentang tantangan serius yang dihadapi dunia dan berharap negara-negara BRICS dapat menjadi kekuatan penstabil untuk perdamaian.
BRICS, yang dimulai pada tahun 2009 dengan empat anggota—Brasil, Rusia, India, dan China—telah berkembang untuk memasukkan negara-negara lain seperti Afrika Selatan, Mesir, dan Iran. Namun, permohonan Venezuela untuk bergabung ditolak setelah veto oleh Brasil, yang dianggap Caracas sebagai gestur bermusuhan.
Dengan situasi yang semakin kompleks ini, dunia menantikan perkembangan selanjutnya dari pernyataan dan tindakan para pemimpin global.