Suara.com - Presiden Prabowo Subianto menunjuk dokter Terawan Agus Putranto sebagai Penasihat Khusus Presiden bidang Kesehatan. Dokter Terawan memang bukan sosok baru dalam pemerintahan. Purnawirawan TNI itu juga pernah menjabat sebagai Menteri Kesehatan era Presiden Joko Widodo tahun 2019-2020.
Namun, sosok Terawan juga pernah menimbulkan kontroversi akibat terapi otak ciptaannya yang dinilai Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah melanggar kode etik dokter.
Kini, saat Terawan kembali ke pemerintahan sebagai penasihat presiden, IDI turut beri tanggapan.
"Pengangkatan pejabat negara adalah hak preogratif Presiden, semoga bisa menjalankan tugas dengan baik," kata Wakil Ketua PB IDI dr. Slamet Budiarto, SH MKes kepada Suara.com saat dihubungi, Rabu (23/10/2024).
Menurutnya, presiden Prabowo sudah memberi contoh untuk merangkul semua pihak demi kepentingan Bangsa dan Negara. Dia berharap, Terawan juga bisa merangkul banyak pihak termasuk IDI.
"Semoga Menteri dan pejabat negara lain juga mengikuti apa yang dicontohkan oleh presiden, yaitu merangkul semua pihak khususnya organisasi profesi untuk bersama-sama membangun kesehatan yang berkeadilan dan pro rakyat," tuturnya.
Ribut Gegara Terapi Cuci Otak
Diketahui, Terawan pernah berselisih dengan IDI akibat terapi cuci otak yang dia ciptakan pada sekitar 2018. Status keanggotaan Terawan di IDI pernah dicopot sementara pada 2018-2019.
Kontroversi itu akibat terapi cuci otak yang diterapkan dalam disertasinya berjudul Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik Pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis.
Dalam studi tersebut, Terawan mengklaim bahwa pasien dapat sembuh setelah empat sampai lima jam pasca operasi dan diterapkan di salah satu rumah sakit di Jerman.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran PB IDI pun menguji terapi Terawan. Hasilnya, IDI menetapkan metode tersebut melanggar sejumlah kode etik, yakni mempromosikan diri dan menjanjikan kesembuhan pada pasien. Selain itu, terapi Terawan juga disebut tidak melewati uji klinis dan penelitian disertasinya dinilai "lemah" dan "cacat".