Suara.com - Amnesty International Indonesia (AII) menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra yang menyebut Tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM berat.
Direktur Eksekutif AII Usman Hamid menyebut pernyataan Yusril itu menunjukkan sikap nirempati kepada korban dan keluarganya.
Padahal, dia menyebut korban dan keluarganya bertahun-tahun sudah menuntut negara untuk segera menegakkan hukum dalam penyelesaian kasus ini.
“Tragedi Mei 1998 menyisakan luka mendalam bagi mereka yang kehilangan orang-orang tercinta akibat kekerasan massal, perkosaan, dan pembunuhan yang menargetkan kelompok ethis tertentu, khususnya komunitas Tionghoa pada saat itu,” kata Usman dalam keterangannya, Selasa (22/10/2024).
Terlebih, Usman juga menyoroti bahwa pernyataan ini disampaikan Yusril di hari pertamanya menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.
“Ini sinyal pemerintahan baru yang mengaburkan tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu,” ujar Usman.
Dia menjelaskan, pemerintahan sebelumnya di era Presiden Ketujuh Joko Widodo juga pernah menyangkal, tetapi kemudian mengakui 12 peristiwa masa lalu sebagai pelanggaran HAM berat.
“Kewenangan penentuan apakah sebuah peristiwa menurut sifat dan lingkupnya tergolong pelanggaran HAM yang berat sesuai Undang-Undang, bukan oleh presiden apalagi menteri tapi pengadilan HAM, setidaknya ditentukan pertama kali oleh Komnas HAM,” terang Usman.
“Komnas HAM pun harus membantah pernyataan Yusril dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Tragedi Mei 98, hingga tuntas,” tambah dia.
Sebelumnya, Yusril menyatakan bahwa kasus pelanggaran hak asasi manusia di tahun 1998 bukan termasuk kategori pelanggaran HAN berat.