Suara.com - Meski Puan Maharani menjadi Ketua DPR RI perempuan pertama dalam sejarah parlemen Indonesia, dalam kepemimpinannya selama periode 2019-2024 lalu, ia dinilai belum mendorong pemberdayaan perempuan serta sikap women support women di dalam parlemen.
Hal itu terlihat dari angka keterwakilan perempuan sebagai pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) di DPR yang masih rendah, bahkan jomplang dengan keterwakilan laki-laki.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), keterwakilan perempuan pada posisi pimpinan AKD pada periode 2019-2024 hanya 12,5 persen atau 11 dari total 87 orang pimpinan AKD.
Adapun apabila dilihat dari prosentasenya, masih banyak posisi kepemimpinan perempuan yang kosong di AKD DPR RI. Di antaranya, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), dan Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP).
Baca Juga: Cuma Mendominasi di 'Komisi Feminim'? Penempatan Anggota DPR Perempuan Dinilai Belum Strategis
Posisi kepemimpinan perempuan tercatay hanya ada di Badan Musyawarah (BAMUS), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN).
Sementara itu, berdasarkan sebaran partai politik, masih terdapat tiga partai politik yang tidak memiliki perempuan sebagai anggota kelengkapan dewan yaitu Partai Demokrat, Partai Amanat Rakyat (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Plt Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA Rini Handayani mengatakan, epemimpinan perempuan dalam AKD sangat penting karena posisi tersebut memegang fungsi strategis untuk mendorong proses legislasi yang mewujudkan keadilan gender.
"AKD yang akan menentukan agenda legislatif, mengatur jalannya sidang, dan terlibat dalam pengambilan keputusan terkait pasal dalam substansi undang-undang. Oleh karenanya, penempatan perempuan dalam AKD menjadi penting agar dapat mendorong proses legislasi yang bisa mendorong keadilan gender," kata Rini pada acara Media Talk KPPPA di Jakarta, Kamis (18/10/2024).
Sementara itu, pakar hukum tatanegara Universitas Indonesia Titi Anggraini menambahkan, kepemimpinan perempuan memang tidak serta mereka akan berpihak kepada perempuan. Karena bagaimana pun, Ketua DPR tersebut tetap petugas partai.
Sehingga, keputusannya di dalam parlemen juga dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya sikap partai politiknya sendiri.
Baca Juga: Keterwakilan Perempuan di Bakal Kabinet Kurang dari 20 Persen, Pakar: Sangat Disayangkan
"Kepemimpinan perempuan itu tidak bisa taken for granted, karena kehadiran perempuan di politik bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, politik dinasti, lalu kemudian juga akses kepada elit," tuturnya.
Menurut Titi, perlu dibentuk paradigma yang berpihak dan memberikan dukungan terhadap kepentingan perempuan. Harus ada ekosistem yang memastikan bahwa keterwakilan perempuan berdampak juga pada kepentingan dan pemenuhan hak-hak perempuan.
"Apa yang terjadi pada kepemimpinan yang lalu dengan segala pekerjaan rumah, itu harus selalu diingatkan," kata Titi.