Suara.com - Kerugian tahunan akibat kejahatan dunia maya diperkirakan akan mencapai angka mencengangkan, yaitu $10 triliun (atau setara dengan Rp150 ribu triliun) pada tahun depan.
Jika dilihat dari perspektif produk domestik bruto (PDB), angka ini setara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia, hanya setelah Amerika Serikat dan China.
Fenomena ini mendorong negara-negara dari Australia hingga China, Inggris, dan AS untuk memperketat undang-undang keamanan dunia maya mereka. Dalam beberapa minggu ke depan, PBB juga diperkirakan akan meloloskan perjanjian penting mengenai keamanan dunia maya.

Kejahatan dunia maya, mulai dari deep fake hingga disinformasi, peretasan, dan serangan terhadap infrastruktur vital, telah menjadi tantangan utama bagi penegak hukum dan badan intelijen.
Di tengah kondisi digital yang semakin terhubung, risiko terhadap serangan oleh geng kriminal dan peretas yang disponsori negara semakin meningkat. Dengan potensi akses ke data sensitif, termasuk rekening bank, kendaraan listrik, hingga perangkat medis seperti alat pacu jantung, tingkat kerentanan masyarakat pun semakin mengkhawatirkan.
Chris Inglis, yang diangkat oleh Presiden Joe Biden sebagai pemimpin operasi dunia maya di AS, menyatakan bahwa meskipun tidak mungkin untuk menciptakan sistem pertahanan dunia maya yang sempurna, upaya untuk mempertahankannya tetap harus dilakukan.
Interpol, lembaga kepolisian internasional terbesar, juga semakin fokus dalam memerangi kejahatan dunia maya. Dr. Neal Jetton, Direktur Kejahatan Dunia Maya Interpol, menggarisbawahi bahwa hampir semua kejahatan kini terhubung dengan teknologi.
Ia menilai perkembangan kecerdasan buatan (AI) sebagai pedang bermata dua, di mana penjahat dan penegak hukum sama-sama memanfaatkan teknologi untuk keuntungan masing-masing.
Sektor kesehatan menjadi salah satu yang paling rentan terhadap serangan siber. Dr. Richard Staynings, ahli strategi keamanan siber, mengingatkan bahwa data kesehatan dihasilkan lebih banyak dibanding sektor lain, menjadikannya target empuk bagi peretas. Banyak perangkat medis yang tidak dirancang dengan keamanan sebagai prioritas, meninggalkan celah yang bisa dimanfaatkan oleh penjahat siber.
Baca Juga: Jangan Tertipu! Kenali Trik Baru Penipuan "Sopan" Lewat SMS
Dalam konteks ini, Dr. Mary Aiken, seorang psikolog siber forensik, berpendapat bahwa manusia sering kali menjadi mata rantai terlemah dalam sistem keamanan siber. Meskipun dia yakin bahwa otak manusia dapat mengalahkan AI, dia menekankan pentingnya mengintegrasikan kecerdasan manusia dengan teknologi dalam proses pengambilan keputusan, bukan menggantikan peran manusia dengan mesin.