Suara.com - Presiden terpilih Prabowo Subianto hanya memanggil 6 orang perempuan dari total 49 tokoh yang datang ke Kertanegara pada Senin (14/10) lalu. Dari jumlah tersebut, diperkirakan keterwakilan perempuan dalam kabinet Prabowo-Gibran hanya sekitar 12 persen.
Direktur Program Jakarta Feminist, Anindya Restuviani menyatakan, sedikitnya keterwakilan perempuan itu sebenarnya bukan hal yang mengejutkan.
"Sebetulnya tidak begitu mengejutkan di saat hanya ada 12 persen dari total 49 kementerian yang akan dibentuk. Karena jika kita melihat visi misi dari presiden dan wapres terpilih, isu perempuan dan kelompok marjinal bukanlah isu yang mereka prioritaskan," kata Anindya kepada Suara.com, saat dihubungi Selasa (15/10/2024).
Walau demikian, dia meyakini bahwa keterwakilan perempuan dalam pemerintahan seharusnya dianggap penting. Terutama yang akan bertanggungjawab terhadap kebijakan berkaitan dengan perempuan dan anak. Sayangnya, keterwakilan perempuan sebagai identitas tunggal saja tidak cukup.
Perempuan yang akrab disapa Vivi itu menuturkan, publik harus melihat kalau sosok perempuan tersebut juga mewakili kelompok perempuan yang rentan.
"Apakah mereka mau mendengarkan isu-isu perempuan di Indonesia, jika perwakilan perempuan juga datangnya dari kelompok yang tidak berpihak pada perempuan itu sendiri, ya percuma," kritiknya.
Sebagai masyarakat sipil, dia mengingatkan publik untuk turut serta memantau latar belakang dari para calon Menteri. Bukan hanya karena identitas gendernya saja, tapi juga sepak terjangnya dalam memperjuangkan hak perempuan dan kelompok marjinal.
Diketahui, ada enam tokoh perempuan yang dipanggil Prabowo pada hari pertama kemarin. Ada pun nama-nama tersebut di antaranya, Politisi Golkar, Meutia Hafid; Sekretaris PP Muslimat NU, Arifah Choiri Fauzi; Komisaris PT Telada Prima Agro, Widyanti Putri Wardhana; Pejabat Gubernur Papua Tengah, Ribka Haluk; Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dan aktivis sosial, Veronica Tan.