Suara.com - Kabinet bentukan Presiden terpilih Prabowo Subianto diproyeksikan akan lebih gemuk dari pemerintahan sebelumnya. Prabowo dinilai tengah berupaya merangkul banyak pihak, mulai dari partai politik, organisasi, hingga akademisi, bahkan artis.
Pengamat politik dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad mengkritisi bahwa kabinet gemuk itu berisiko kembali meminimalkan peran oposisi dalam pemerintahan. Kondisi tersebut yang juga terjadi pada era Presiden Joko Widodo periode kedua.
"Saya setuju bahwa Pak Prabowo itu mungkin bagian dari elite yang punya pandangan seperti Pak Jokowi itu. Di mana aspek-aspek demokrasi, aspek checks and balances itu tidak dianggap terlalu penting," kata Saidiman kepada suara.com, dihubungi Selasa (15/10/2024).
Pemerintahan memang tetap berjalan selama periode kedua Jokowi, meski hampir tidak adanya peran oposisi. Akan tetapi, Saidiman menuturkan bahwa kondisi tersebut sangat merugikan masyarakat karena pemerintah Jokowi tercatat sering semena-mena dalam membuat kebijakan selama periode kedua.
Baca Juga: Raja Juli Antoni, dari Politisi PSI Kini Dipanggil Prabowo Jadi Calon Menteri, Ini Kekayaannya
"Pemerintahan berjalan-berjalan saja, tapi dengan sejumlah persoalan. Ada undang-undang, misalnya Omnibus Law yang banyak sekali kritikan tidak melalui proses yang semestinya, uji publik dan seterusnya. Ada pelemahan KPK, ada upaya untuk memperpanjang masa jabatan, ada perubahan Undang-Undang Pemilu di akhir-akhir intervensi terhadap MK dan seterusnya," beber Saidiman.
Seluruh kondisi itu terjadi pada masa periode kedua kepemimpinan Jokowi dan sampai ikut disorot oleh media internasional sebagai bentuk mundurnya demokrasi di Indonesia. Sayangnya, menimalkan peran oposisi di pemerintahan itu kembali dilakukan oleh Presiden Prabowo.
Menurut Saidiman, baik Jokowi dan Prabowo sama-sama menganggap hal terpenting dalam menjalankan pemerintahan ialah stabilitas politik untuk pembangunan ekonomi. Itu sebabnya, banyak merangkul dari berbagai kalangan. Namun, cara pandang tersebut juga dinilai keliru.
"Misalnya dibandingkan pembangunan ekonomi di era Pak Jokowi dengan era Pak SBY, itu kan pertumbuhan ekonomi di era Pak SBY lebih baik dibanding dengan sekarang," ujarnya.
Dia menekankan bahwa teori mengenai demokrasi mengganggu pembangunan ekonomi sebenarnya sudah usang sejak lama. Kenyataannya, negara-negara yang paling maju secara ekonomi juga menjadi yang paling demokratis.
Baca Juga: Beres Panggil Calon Wamen, Prabowo Ajak Wartawan Doakan Timnas Indonesia Menang Lawan China