Terancam Dipecat! Begini Kisah Marinir AS Mayor Joshua Mast Berjuang untuk Mengadopsi anak Yatim Piatu Afghanistan

Bella Suara.Com
Rabu, 09 Oktober 2024 | 16:47 WIB
Terancam Dipecat! Begini Kisah Marinir AS Mayor Joshua Mast Berjuang untuk Mengadopsi anak Yatim Piatu Afghanistan
Personel marinir Amerika Serikat. (Shutterstock/Oleg Zabielin)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mayor Joshua Mast, seorang perwira Marinir Amerika Serikat, terlibat dalam pertempuran hukum panjang terkait adopsi seorang anak yatim Afghanistan. Kasus ini telah menarik perhatian hingga ke tingkat pemerintahan tertinggi.

Meski begitu, panel beranggotakan tiga orang Marinir pada Selasa lalu memutuskan bahwa tindakan Mast, meskipun dinilai tidak pantas sebagai seorang perwira, tidak cukup kuat untuk menyebabkan pemecatannya dari dinas militer.

Pengacara dari Korps Marinir menuduh Mast menyalahgunakan jabatannya, mengabaikan perintah atasannya, serta salah menangani informasi rahasia dan menggunakan komputer pemerintah secara tidak sah dalam upayanya memperjuangkan hak asuh anak yang ditemukan yatim piatu di medan perang Afghanistan pada 2019.

Pengungsi Afghanistan di AS (VOA Indonesia)
Pengungsi Afghanistan di AS (VOA Indonesia)

Mast, yang saat itu tinggal bersama istrinya, Stephanie, di Fluvanna County, Virginia, berhasil meyakinkan hakim setempat untuk mengabulkan adopsi anak tersebut, meskipun saat itu sang anak masih berada di Afghanistan. Pemerintah Afghanistan tengah berusaha menemukan keluarga besar sang anak dan akhirnya berhasil menyatukannya kembali dengan mereka.

Baca Juga: Tegang! Kepercayaan AS pada Israel Merosot Tajam, Serangan Balasan Picu Krisis Diplomatik

Namun, pada 2021, setelah Taliban mengambil alih Afghanistan, Mast membantu keluarga Afghanistan tersebut melarikan diri ke Amerika Serikat. Setibanya di AS, Mast menggunakan dokumen adopsi untuk mengambil anak tersebut dari keluarganya di Afghanistan dan membawanya ke rumahnya. Sejak saat itu, anak tersebut tinggal bersama keluarga Mast di North Carolina.

Sidang dewan investigasi yang berlangsung selama lima hari di Camp Lejeune sebagian besar berlangsung tertutup. Sidang ini bukan bersifat pidana, melainkan administrasi, yang bertujuan menentukan apakah Mast layak tetap berdinas di militer.

Potensi sanksi terberat yang bisa dijatuhkan kepada Mast adalah pemecatan tidak hormat. Namun, laporan dewan yang mengakui adanya pelanggaran akan dicatat dalam berkas Mast, yang bisa mempengaruhi promosi dan penugasannya di masa mendatang.

Nasib anak tersebut hingga kini masih terkatung-katung. Pasangan Afghanistan yang merawatnya selama 18 bulan berusaha membatalkan adopsi yang dilakukan Mast.

Departemen Kehakiman AS turut campur dengan menyatakan bahwa Mast telah berbohong kepada pengadilan Virginia dan pejabat federal untuk membenarkan pengambilan anak tersebut. Tindakan Mast, menurut mereka, dapat merusak citra Amerika di mata dunia.

Baca Juga: Donald Trump Sebut Para Migran yang Membunuh Memiliki Gen Buruk: Sekarang Mereka Hidup Bahagia di Amerika!

Departemen Luar Negeri AS pada hari Selasa menegaskan bahwa keputusan mereka bekerja sama dengan pemerintah Afghanistan dan Komite Internasional Palang Merah untuk menyatukan kembali anak tersebut dengan keluarganya sesuai dengan hukum internasional dan kebijakan AS. Mereka juga mendesak agar pengadilan Virginia mengembalikan anak tersebut kepada keluarga Afghanistan.

Meskipun Pengadilan Banding Virginia telah memutuskan bahwa adopsi tersebut tidak seharusnya terjadi, kasus ini masih tertahan di Mahkamah Agung Virginia. Pengacara dari keluarga Afghanistan belum memberikan komentar terkait perkembangan ini.

Di dalam ruang sidang yang sederhana, semua orang berpakaian seragam kamuflase. Mast memilih memberikan pernyataan tanpa sumpah di sesi tertutup, yang membuatnya tidak bisa diinterogasi lebih lanjut.

Namun, istrinya, Stephanie, memberikan kesaksian secara terbuka, menawarkan wawasan tentang motivasi mereka yang begitu gigih untuk mengadopsi anak tersebut. Dia menangis ketika menggambarkan keputusan suaminya sebagai wujud dari komitmennya terhadap nilai-nilai Marinir.

“Itu sangat mencerminkan tanggapan khas Amerika,” ucap Stephanie dengan penuh emosi.

“Kami menghargai kehidupan manusia. Sebagai Marinir, Anda melayani dan melindungi.” lanjutnya.

Meskipun ditegur oleh beberapa pejabat tinggi, termasuk mantan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, agar menghentikan upaya mereka, pasangan ini bersikeras bahwa membawa anak tersebut ke Amerika Serikat adalah prioritas utama mereka.

Ketika ditanya apakah keputusan itu didasari oleh bias Barat yang menganggap anak akan lebih baik di AS daripada di Afghanistan, Stephanie menjawab bahwa mereka ingin memberikan anak tersebut kehidupan yang lebih baik sesuai dengan prinsip kebebasan dan kebahagiaan yang mereka yakini.

“Mereka memiliki mentalitas bertahan hidup,” katanya tentang orang-orang Afghanistan.

“Kami percaya pada kehidupan, kebebasan, dan pengejaran kebahagiaan. Dan kami ingin dia memilikinya.” Stephanie.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI