Suara.com - Sudah ada puluhan ribu orang tewas di Jalur Gaza, Palestina imbas serangan yang diluncurkan oleh Israel pada 7 Oktober 2024 hingga detik ini.
Hal itu tentu menjadi sorotan banyak pihak di berbagai negara. Kali ini Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Sya'roni Rofii turut buka suara.
Perlu diketahui, bahwa konflik Palestina dan Israel terhitung telah terjadi lebih dari setengah abad lalu. Berbagai langkah diplomatik dalam bentuk perjanjian dan prakarsa telah beberapa kali dilakukan untuk mencapai perdamaian.
Namun, berbagai upaya tersebut tidak berhasil dan konflik antar keduanya masih terjadi hingga saat ini.
Baca Juga: Kongres Palestina Merdeka Tantang Larangan di Wina, Sukses Digelar di Tengah Tekanan
Kepada Suara.com, Sya'roni sapaan akrabnya memberikan gambaran sekilas soal konflik Israel vs Palestina tersebut.
Peristiwa itu kata dia tentunya tidak lepas dari adanya serangan pada 7 Oktober 2024 oleh kelompok Hamas ke Israel.
Hal tersebut tentunya menjadi sebuah peristiwa yang tidak dapat diprediksi oleh Israel, meski negara Zionis itu memiliki intelijen yang luar biasa hebatnya.
"Menurut saya apa yang terjadi saat ini memang tidak lepas dari peristiwa 7 Oktober 2023, dimana ada serangan dari Hamas ke Israel. Kemudian serangan itu menjadi sesuatu tidak diprediksi Israel, kendati Israel memiliki intelijen yang luar biasa hebatnya," katanya dihubungi Suara.com.
Padahal, banyak negara yang menilai pertahanan Israel sangat sulit ditembus. Namun, peristiwa 7 Oktober itu dibantah keras dengan adanya serangan dari Hamas.
Baca Juga: Gempa Bumi Guncang Wellington Selandia Baru, 36.000 Orang Rasakan Getaran Dahsyat
"Pertahanan di udara dan darat dan semua teritori kelihatannya susah ditembus, tapi bisa ditembus juga (Oleh Hamas)," dia berujar.
Tentunya, kata pengamat UI itu, serangan yang dilancarkan oleh Hamas tentu menjadi pukulan besar bagi Israel.
"Bagi Israel itu pukulan, bahaimana mereka berusaha untuk memulihkan citra kekuatan penting di kawasan. Lebih dari itu, ada sandera yang di ambil oleh Hamas jumlahnya kurang lebih ratusan, ada yang dilepas ada juga yang masih disandera," imbuh dia.
Namun, ditengah tujuan PM Israel, Benjamin Netanyahu melakukan politik Membumihanguskan Gaza, ada tekanan dari warganya sendiri untuk membebaskan sandera.
"Jadi memang di Israel sendiri saya kira, pemerintah PM Israel, Benjamin Netanyahu mendapat tekanan dari warga Israel, bahwa sandera harus dibebaskan disisi lain natanyahu menggunakan membebaskan sandera politik bumi hangus," ucap Roni sapaan akrabnya juga.
Dia menilai, bahwa peristiwa yang saat ini terjadi di Gaza merupakan sejarah dan konflik baru Israel-Palestina, hingga memerlukan sudut pandang yang cukup luas.
"Dan berusaha membumi hanguskan Gaza, sehingga pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan. Saya kira peristiwa terakhir itu adalah babak baru dalam sejarah konflik Israel Palestina. Saya kira ini merupakan sejarah konflik ini. Ini memerlukan sudut pandang sangat luas," tegasnya.
1 Tahun Israel Hilangkan Nyawa 41 Ribu Warga Palestina
Hanya butuh waktu satu tahun bagi Israel untuk menghilangkan nyawa 41 ribu orang Palestina. Sejak 7 Oktober 2023 hingga setahun kemudian, tak ada yang berubah kecuali jumlah korban meninggal dunia.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengiyakan hal ini. Membandingkan dengan kondisi setahun lalu, ia menyebut situasi rakyat Palestina di Gaza sungguh sulit dibayangkan.
“Mereka berada dalam neraka dunia yang makin hari makin memburuk kondisinya,” kata Guterres dalam Pertemuan Tingkat Menteri dalam Mendukung UNRWA, Badan PBB untuk Pengungsi Palestina, 26 September.
Di “neraka dunia” inilah hampir 97 ribu warga Gaza mengalami luka-luka. Sementara dua juta orang harus mengungsi dari tempat tinggal mereka ke kamp yang hanya seluas Bandara Internasional Shanghai, menurut Guterres.
Yang kini jadi soal, bahkan pemimpin PBB pun mengaku tak berdaya melakukan upaya.
“Konon ‘PBB tidak dibentuk untuk membawa kami ke surga, melainkan untuk menyelamatkan kami dari neraka.’ Sayangnya, PBB atau siapapun yang memiliki kuasa untuk melakukannya tidak mampu menyelamatkan warga Gaza dari neraka itu,” ucap Guterres.
Kecaman demi kecaman dilontarkan, seruan demi seruan dilontarkan, bahkan desakan demi desakan tak kurang banyak mengisi ruang-ruang pertemuan tingkat tinggi PBB.
Namun, menandai satu tahun serangan besar-besaran di Gaza, ketegangan malah dieskalasi oleh serangan udara Israel ke Lebanon.
Lagi-lagi masyarakat sipil gugur menjadi korban. Serangan intensif dalam sekitar dua pekan menewaskan lebih dari 2.000 nyawa, menurut Kementerian Kesehatan Lebanon. Ratusan perempuan dan anak-anak di antara mereka.
Muncul kesan pesimistis bahwa konflik tak mampu diredam segera, terlebih dengan masuknya Iran ke dalam pusaran konflik. Namun setidaknya Indonesia berdiri tegak pada posisinya: tak henti mendukung Palestina sejak hari pertama.
Setiap kali bicara dalam forum PBB, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi membawa serta isu Palestina. Bahkan ketika “ngobrol” bilateral dengan rekan dari negara lain, ia menggalang solidaritas dukungan untuk Gaza.